Bisnis.com, JAKARTA — Para pelaku usaha mendesak pemerintah menurunkan pajak dan pungutan ekspor cangkang sawit, yang selama ini dianggap sebagai hambatan untuk mengerek nilai ekspor komoditas tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) Dikki Akhmar mengatakan, saat ini sebanyak 30% atau sekitar 500.000 ton cangkang sawit tidak terserap dapat dimanfaatkan untuk ekspor.
Dia menyebutkan, salah satu pengganjal ekspor cangkang sawit selama ini adalah tingginya besaran pajak dan pungutan ekspor, yang mencapai US$17 per ton. Padahal, cangkang sawit mempunyai harga standar Internasional yang diterbitkan oleh Argus Media International Corp.
“Kami mengharapkan pemerintah bisa menurunkan pajak ekspor dan pungutan ekspor menjadi US$6 per ton. Kami yakin volume ekspor dapat ditingkatkan menjadi 3 juta ton per tahun, atau meningkatkan devisa negara menjadi sekitar US$231 juta,” ujarnya kepada Bisnis, awal pekan ini.
Untuk itu, pelaku usaha berharap agar Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perdagangan mencarikan jalan keluar bagi masalah tersebut.
Hingga 2017, volume ekspor cangkang sawit telah mencapai 1,8 juta ton dengan nilai devisa US$138,6 juta. Akan tetapi, ekspor sangat tidak maksimal dilakukan karena banyak cangkang sawit di areal terpencil, sehingga secara logistik tidak komersial untuk diekspor karena tingginya biaya pajak dan pungutan sawit.
Akibatnya, hampir 30% cangkang sawit di beberapa daerah tidak bisa diekspor atau hanya digunakan di dalam negeri atau hanya berakhir menjadi limbah yang tidak produktif.
Menurut Dikki, besaran pajak dan pungutan ekspor cangkang sawit senilai US$17 per ton yang ditetapkan pertama kali sejak 2015 sudah tidak relevan lagi. “Jadi sebaiknya kesalahan pemerintah segera diperbaiki, apalagi momentum kekuatan dolar terhadap rupiah begitu tinggi.”
Dia menambahkan, perkembangan ekspor cangkang sawit sebagai sumber bioenergi kini telah dikenal sebagai biomasa yang mulai sangat diminati dan dibutuhkan di pasar Asia, khususnya Jepang danThailand.
Mengutip data asosiasi, kebutuhan cangkang sawit di dalam negeri hanya 40%—50%, dan itu hanya terbatas untuk industri CPO sendiri, sedangkan untuk kebutuhan industri lain masih sangat minim karena biaya logistik yang sangat tinggi.
“Dengan demikian, pasar ekspor merupakan peluang sangat baik untuk komoditas cangkang sawit tersebut, khususnya dari sumber-sumber yang berada di daerah terpencil.”
Wakil Ketua Umum Apcasi Suratno menegaskan bahwa para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi sepakat mengusulkan pajak ekspor diturunkan menjadi US$3 per ton dan pungutan sawit juga hanya US$3 per ton sehingga total biaya ekspor US$6.
“Volume ekspor dapat kami tingkatkan menjadi 2,5 juta ton—3 juta ton per tahun, atau meningkatkan devisa negara menjadi sekitar US$231 juta,” katanya.
Selain meningkatkan devisa dolar AS ke Indonesia, sambungnya, pemerintah akan menikmati nilai intangible, seperti peningkatan penggunaan energi ramah lingkungan, berkurangnya penanganan limbah yang tidak produktif, serta peningkatan ekonomi masyarakat di daerah terpencil.
“Peningkatkan volume ekspor memberikan efek domino pada ekonomi masyarakat daerah perifer secara signifikan, seperti trucking, tenaga buruh pelabuhan, tenaga kerja distockpile, dan warung milik warga,” ujarnya.
Titus Yuwono, Direktur PT Jatim Propertindo Jaya—eksportir cangkang terbesar nasional— mengungkapkan bahwa pajak ekspor dan pungutan sawit US$17 praktis membuat perusahaan rugi karena sudah mencapai 20% dari harga ekspor yang kini sekitar US$75 per ton.
“Kami tidak mungkin menghentikan ekspor ke Jepang karena membawa nama baik Indonesia. Padahal, kami sudah meneken kontrak ekspor selama 10 tahun, atau jauh sebelum ada ketentuan pajak ekspor dan pungutan sawit US$17 per ton,” tegasnya.