Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kendali Penentuan UMP Diminta Kembali ke Pemda

Penentuan besaran upah minimum provinsi dinilai bakal lebih efektif jika kewenangannya diserahkan kepada pemerintah daerah. 
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Penentuan besaran upah minimum provinsi dinilai bakal lebih efektif jika kewenangannya diserahkan kepada pemerintah daerah. 

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan selama ini perhitungan besaran upah minimum provinsi (UMP) dilakukan dengan menggunakan asumsi makro pemerintah pusat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan. 

"Skema perhitungan gaji berdasarkan perkembangan ekonomi dan inflasi, jumlahnya akan sangat kecil, karena rerata inflasi hanya 3,5% per tahun dan rerata pertumbuhan ekonomi 5% pertahun. Jadi total peningkatan gajinya akan kurang dari 10%," ujarnya kepada Binsis.com, Rabu (29/8/2018).

Menurutnya, perhitungan pengupahan di Indonesia seharusnya menggunakan skema biaya yang mengikuti teori standar hidup. Untuk itu, wewenang penetapan besaran upah ini sebaiknya diberikan kembali kepada kepala daerah, yang memberi kesempatan kepada serikat pekerja untuk terlibat dalam hal ini. 

"Penghitungan dan penetapan upah sebaiknya tidak dibuat tersentralisasi karena kondisi dan biaya hidup di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda. Pemerintah daerah dan serikat pekerja  yang lebih mengerti dengan situasi di lapangan sehingga pemberian upah terhadap pekerja sesuai dengan kebutuhan masing-masing provinsi," tutur Imelda. 

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga perlu mengikut sertakan tunjangan seperti asuransi kesehatan, pendidikan dan pensiun dalam pembahasan penghitungan UMP. Pemerintah harus menetapkan formula pakem untuk penentuan upah sehingga kenaikan upah tidak terjadi setiap tahun.  

Pasalnya, kenaikan upah secara berkala berisiko memberatkan pengusaha dan memengaruhi iklim usaha dan investasi di Indonesia.

Senada, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta penentuan penghitungan besaran UMP dikembalikan kewenangannya kepada tiap daerah dan melibatkan serikat buruh. 

Dia mengusulkan penepatan UMP juga mempertimbangkan disparitas daerah dan dilakukan dengan sistem zonasi yang menyamakan besaran upah. Misalnya, zona Jabodetabek yang banyak kawasan industri memiliki besaran upah yang sama. 

"Selama ini UMP di Karawang dan Bekasi lebih besar Rp300.000 dibandingkan dengan UMP di DKI Jakarta. Lalu, di daerah Gresik juga lebih tinggi upahnya dengan Jawa Timur," katanya. 

Menurutnya dengan sistem zonasi ini, industri padat karya dan padat modal juga dapat diatur keberadaannya. Pasalnya, selama ini industri padat karya yang berada di wilayah memiliki Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang tinggi terbebani dengan UMP yang juga tinggi. 

Sementara itu, Ketua Hubungan Antar Lembaga Apindo Anthony Hilman menuturkan mekanisme penentuan besaran UMP tak dapat diganggu gugat karena sudah diatur dalam PP tentang pengupahan dimana didasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.

"Enggak ada negosiasi penghitungan besaran upah. Selama ini kesepakatan besaran upah di tiap perusahaan juga melibatkan serikat pekerja berdasarkan perjanjian tiap perusahaan. Jadi kalau perusahaan mau memberikan insentif tambahan untuk pekerjanya ya itu silakan saja."

Terpisah, Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri berharap sistem pengupahan yang diberikan kepada pekerja benar-benar adil. Pasalnya, sistem pengupahan nasional yang berkeadilan diyakini bisa menunjang peningkatan kesejahteraan para pekerja.

"Banyak faktor yang bisa mempengaruhi soal upah. Selama ini narasi pengupahan di Indonesia lebih banyak menghabiskan energi bicara upah mininum," ujarnya. 

Menurutnya, UMP itu bukan semata perkara upah tinggi atau rendah tetapi terkait dengan daya beli masyarakat.

Hanif mencontohkan di Belanda penduduknya diupah senilai Rp30 juta, namun masih mengeluh karena daya beli di Belanda sama seperti daya beli masyarakat di Jakarta sebesar Rp3 juta. 

Dia menilai upah di Belanda hanya terlihat dari besar nominalnya saja, tetapi apabila dilihat dari daya belinya sama seperti di Indonesia. 

"Artinya ada banyak faktor termasuk terkait makro ekonomi yang dianggap mempengaruhi masalah upah. Belum lagi dikaitkan isu produktivitas, belum lagi nanti tantangan baru proses bisnis dunia yang kini berbasis digital," tutur Hanif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper