Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bakau Diteliti Sebagai Penawar Penyakit Udang

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) Maros Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan penelitian menggunakan mangrove (bakau) sebagai obat penawar penyakit udang.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) Maros – Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan penelitian menggunakan mangrove (bakau) sebagai obat penawar penyakit udang.

Penelitian bertajuk ‘Herbal Mangrove Sebagai Alternatif Pencegah Penyakit Udang oleh  Peneliti BRPBAP3  Muliani beserta timnya didorong oleh ekosistem bakau Indonesia yang luas, sekitar  3,49 juta hekatre (ha) berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015, serta adanya kandungan anti Vibrio dan anti White Spot Syndrome Virus (WSSV)  dalam tanaman tersebut. Pengggunaan tanaman bakau sebagai bahan dasar alternatif pencegahan penyakit udang dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan antibiotik.

Penelitian ini pun telah dimulai sejak tahun 2013 dengan melakukan screening tanaman bakau sebagai penghasil antibakteri. Sebanyak 182 sampel bakau untuk kebutuhan screening diambil dari berbagai daerah di Indonesia.

“Dari 182 sampel yang di-screening, 103 sampel atau 56,60% positif mengandung anti vibrio harveyi.  Adapun jenis mangrove yang paling potensial mengandung anti vibrio harveyi adalah Sonneratia alba, S caseolaris, S. lanceolata, Bruguiera  gymnorrhiza, dan Rhizophora mucronata,” jelas Muliani seperti dikutip dari keterangan pers, Kamis (26/7/2018).

Dari 103 sampel yang terdeteksi mengandung Vibrio,22 diantaranya  berasal dari Kabupaten Maros, 38 dari Kabupaten Pangkep, 20 dari Kabupaten Luwu Timur, 6 dari Kabupaten Takalar, dan 17 dari Kabupaten Bone.

Pada 2014, penelitian dilanjutkan untuk melihat potensi ekstrak bakau setelah  difraksinasi, serta toksisitasnya terhadap benih udang windu.  Di 2015, penelitian dilanjukan untuk mengkaji metode pemberian ekstrak bakau yang lebih efektif dan efisien, yaitu dengan sistem perebusan tepung bakau dan mencampur hasil ektraksi methanol, serta fraksinasi ke dalam pakan udang. Langkah berikutnya adalah mengkaji perbedaan konsentrasi ekstrak bakau dalam pakan, baik untuk penanggulang penyakit bakteri maupun untuk WSSV di 2016. 

 “Terjadi peningkatan sistem imun udang secara signifikan pada penggunaan ekstrak bakau dalam pakan dibanding tidak menggunakan ekstrak bakau. Pencegahan WSSV menggunakan ekstrak bakau lebih efektif melalui penyuntikan dibanding pakan dan perendaman. Namun, metode ini sulit diaplikasikan di tambak dan hanya cocok diaplikasikan untuk induk udang,” paparnya.

Pada 2017, penelitianpun kemudian dilanjutkan dengan mengkaji sistem ekstraksi dengan perebusan daun bakau yang masih basah dan tidak lagi menggunakan hasil tepung daun bakau.  Sebuah percobaan menggunakan metode ini telah dilakukan untuk budidaya udang windu. Melalui metode ini, diharapkan para petani dapat mengaplikasikan pada kegiatan budiaya.

“Hingga saat ini, penelitian difokuskan pada aplikasinya di tambak udang. Melalui penelitian ini, kami juga berharap kelestarian mangrove tetap terjaga dan mari kita galakkan kembali penanaman mangrove  pada daerah-daerah yang tidak ditanami,” tegas Muliani.

Penyakit udang merupakan momok meresahkan bagi pembudidaya. Hal tersebut dapat meningkatkan kematian hingga 100% pada udang di dalam tambak hingga menyebabkan kerugian dalam jumlah besar dan White Spot Syndrome (WSS) serta penyakit karena bakteri vibrio menjadi yang paling mematikan diantaranya.

Udang yang terjangkit penyakit bintik putih, pada proses awal akan langsung menyerang organ lambung, insang, kutikula epidermis, dan jaringan ikat hepatopankreas. Setelah udang terjangkit penyakit berat akan muncul bintik-bintik putih berdiameter 0,5-2 mm pada lapisan dalam eksoskeleton dan epidermis yang menyebabkan udang tidak mau makan dan berdampak kematian massal di tambak.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper