Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha air minum dalam kemasan (AMDK) menilai pengesahan draf Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) akan mengganggu iklim investasi di Tanah Air.
Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Air Minum dalam Kemasan (Aspadin), menuturkan dalam draf RUU SDA, bisnis AMDK hanya mungkin dilakukan jika bekerja sama dengan badan usaha milik negara maupun daerah atau badan usaha milik desa (BUMN, BUMD atau BUMDes).
“Artinya ini akuisisi oleh negara [melalui paksaan undang-undang]. Itu nasionalisasi. Dalam draf RUU SDA pasal 51 ayat 1 menyamakan bisnis AMDK dengan air pipa sehingga harus diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, atau BUMDes,” kata Rachmat, Rabu (25/7).
Dalam Undang-undang Penanaman Modal yang berlaku, nasionalisasi hanya dapat dilaksanakan jika keadaan memaksa dan harus dilakukan dengan harga pasar. Selain itu, perusahaan dapat menolak dengan membawa permasalahan ke arbitrase internasional.
“Apa pemerintah mau berurusan arbritrase dengan 900 perusahaan AMDK. Kalau perusahaan bersedia akuisisi, apa ada uangnya,” katanya.
Rachmat mengatakan, saat ini volume bisnis air minum mencapai kurang lebih Rp50 triliun per tahun. Dengan valuasi wajar yang biasa digunakan 12 kali, pemerintah harus merogoh kocek Rp600 triliun untuk melakukan akuisisi terhadap seluruh perusahaan AMDK.
“Sekarang pertanyaannya apa uangnya ada? Bukankah uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur air pipa yang sekarang baru 30%,” katanya.
Menurutnya, sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan China tidak mengatur bisnis AMDK seperti yang tercantum dalam RUU SDA tersebut.
Dia menuturkan, kehadiran swasta tetap perlu diatur dan tidak diberikan kebebasan seluas-luasnya. Namun, pengaturan tersebut diharapkan tidak sampai mengganggu iklim bisnis.
Asosiasi sudah menyampaikan dampak berlakunya aturan ini kepada DPR maupun Presiden sejak panitia penyusunan bekerja pada April 2017. Permohonan audiensi dengan kementerian/lembaga terkait untuk memberikan masukan juga sudah diajukan oleh asosiasi.
“Namun, sampai sekarang belum pernah diundang untuk membahas RUU ini,” katanya.
Menurut data Aspadin, saat ini bisnis AMDK menyerap 50.000 tenaga kerja langsung melalui lebih dari 900 perusahaan. Industri ini menyumbang 3,3% produk domestik bruto serta melibatkan 250.000 tenaga kerja tidak langsung sepanjang rantai pasoknya.