Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu diharapkan menjadi jembatan untuk grand design kebijakan bagi UMKM.
Peraturan baru tersebut mengatur penerimaan pajak penghasilan (PPh) final dari sebelumnya sebesar 1% menjadi 0,5% bagi UMKM.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (Cita), menilai kebijakan ini tidak dapat berdiri sendiri.
"Kementerian Keuangan tidak bisa sendiri perlu ada bundling policy dengan pihak lain," ungkapnya di Hotel Ibis Harmoni, Rabu (27/6/2018).
Konkreknya aturan baru tersebut perlu dibarengi dengan skema insentif pemerintah untuk membantu pembukuan.
Baca Juga
Pemberi kebijakan melakukan pembinaan supaya UMKM bisa membuat pembukuannya sendiri.
"Pembukuan itu sekarang jadi momok bagi pengusaha mikro, sekarang mereka harus diberi bentuk akuntansi yang mudah dan ringan," jelasnya.
Pembukuan ini juga dapat dilakukan drngsn aplikasi sehingga UMKM dapat mengaksesnya dengan mudah.
Di sisi lain, Yustinus juga melihat PP 23 ini memberikan tantangan tersendiri. Pemerintah wajib melakukan sinergisasi untuk membantu UMKM naik kelas.
Perlu ada keterlibatan pembuat kebijakan moneter yakni Bank Indonesia untuk membantu UMKM dari sisi kemudahan modal.
Lalu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) untuk terus melakukan pendampingan. "Kita bangunkan kementerian ini dari tidurnya dan mulai bekerja mendampingi UKM," selorohnya.
Terakhir, peran pemerintah daerah sebagai pemegang lokus penguatan UKM. Pemda perlu membantu pembukuan, akses pemodalan dan pemasaran.
"Semangatnya dari sini adalah kita sama-sama belajar, WP UKM belajar dalam gross periode untuk rutin membayar pajak, pemegang kebijakan juga belajar, membantu UMKM menjadi usaha yang besar," tegasnya.