Bisnis.com, JAKARTA - Kesatuan Pelaut Indonesia menilai, faktor keamanan dan keselamatan pelayaran seringkali diabaikan oleh perusahaan pelayaran.
Pengabaian aturan terjadi baik dalam pemenuhan dan perawatan alat-alat keselamatan maupun kelaiklautan kapal.
President KPI Mathias Tambing mengungkapkan, pola pengawasan dan audit intensif dari regulator mesti lebih ketat menyangkut kelaiklautan kapal sebelum berlayar.
"Lalai terhadap aspek keselamatan pelayaran sangat membahayakan, sehingga akan banyak menelan korban jika terjadi kecelakaan di laut, seperti tenggelamnya kapal penumpang KM Sinar Bangun di Danau Toba baru-baru ini akibat kelebihan muatan dan kurangnya alat keselamatan," ujar Mathias, kepada Bisnis, Minggu (24/6/2018).
Dia mengatakan,pengawasan dan penegakan hukum di laut harus diperkuat. Perusahaan pelayaran yang melanggar aturan harus ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku.
Menjelang peringatan Hari Pelaut Sedunia pada 25 Juni 2018, KPI terus melakukan kampanye untuk membangun semangat dan solidaritas pelaut di seluruh dunia.
Selain harus mematuhi semua aturan pelayaran internasional, pelaut juga harus saling menghormati sesama profesi dan saling membantu pelaut lainnya manakala tertimpa musibah kecelakaan atau perompakan di laut.
Untuk pelaut Indonesia yang bekerja di kapal- kapal asing,KPI berharap mereka tetap mendapat perlindungan dan kesejahteraan yang layak sesuai ketentuan internasional.
Masalah ini ditekankan karena masih banyak kapal-kapal asing yang kondisinya kurang memenuhi syarat, terutama pada kapal-kapal perikanan.
“Awak kapal perikanan sering ditindas, tidak mendapat perlindungan yang layak, sementara gajinya sangat memprihatinkan,” ujar Mathias.
Wakil Sekjen KPI Sonny Pattiselanno menambahkan, setiap terjadi kecelakaan kapal hanya pelaut yang selalu dijadikan terperiksa, tersangka dan terpidana, sementara pihak-pihak lain yang jelas terkait dengan kecelakaan tersebut selalu lolos dari jerat hukum.
Menurutnya, kecelakaan kapal yang menelan korban jiwa akibat ketidaklaiklautan kapal bukan merupakan kesalahan tunggal seorang nakhoda tapi merupakan kesalahan kolektif dari semua pihak terkait.
Untuk itu, sanksi tegas harus juga diberikan kepada pemilik kapal maupun petugas Kesyahbandaran yang jelas-jelas telah mengabaikan dan meloloskan kapal berlayar tanpa memenuhi standar kelaikan. Sanksi administrasi dan pidana terhadap hal tersebut telah diatur secara jelas dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran.
REGULASI ILO
Menyangkut perlindungan pelaut di kapal asing, Sonny menambahkan, pemerintah seharusnya segera menyelesaikan regulasi nasional untuk mengimplementasikan ILO Marine Labour Convention (MLC) yang telah diratifikasi dengan UU No. 15/2016.
Sedangkan untuk penyusunan PP khusus bagi perlindungan pelaut sebagai amanat pasal 64 UU No. 18/2017 PPMI, kata Sonny, harus memperhatikan semua ketentuan yang ada dalam ILO MLC maupun regulasi nasional yang sudah ada serta melibatkan unsur tripartit, terutama serikat pekerja pelaut yang berkompeten dan sudah mendapat pengakuan internasional.
Hal tersebut sangat diperlukan agar tidak melanggar ketentuan ILO MLC, tidak membuat dualisme aturan nasional yang tumpang tindih, serta dapat menyerap aspirasi unsur pekerja/pelaut maupun pengusaha.
Untuk pelayaran domestik, Sonny mengatakan, selain gaji yang masih rendah maka standar pengerjaan, kesejahteraan, keamanan di tempat kerja dan perlindungan juga sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan hampir 60% pelaut Indonesia lebih memilih bekerja di kapal asing dengan berbagai risikonya.
"Pemerintah RI agar segera melakukan pembenahan dengan memberlakukan semua ketentuan ILO MLC dan menjadikannya sebagai peraturan yang bersifat lex specialis guna menjembatani berbagai aturan di bidang ketenagakerjaan pelaut yang tumpang tindih," ujarnya.