Setelah krisis finansial yang memporak-porandakan perekonomian Indonesia yang disusul gelombang demonstrasi, tepat 20 tahun lalu Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri. Era Orde Baru yang dulunya dianggap sebagai antitesa dari Orde Lama tumbang setelah berjaya kurang lebih 32 tahun.
Tumbangnya Orde Baru, menandai lahirnya era baru yang dikenal dengan era reformasi. Demokratisasi serta desentralisasi menjadi isu utama gerakan post-Soeharto ini.
Namun setelah Soeharto turun tahta, persoalan ternyata tak sesederhana itu. Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Indonesianis sekaligus penulis buku Politik Lokal di Indonesia, mencatat bahwa pada awal reformasi, usaha-usaha untuk memperkenalkan perubahan ekonomis dan politis yang lebih demokratis tampaknya belum berhasil. Masalah utama dari terhambatnya demokratisasi itu adalah keberadaan praktik sabotase birokrasi, politik kekuasaan yang korup, oportunisme jangka pendek, serta ketiadaan visi yang luas tentang masa depan.
Sampai saat ini, ketika reformasi berjalan 20 tahun, berbagai persoalan tersebut masih terlihat dengan jelas. Sabotase birokrasi, korupsi, hingga opurtunisme jangka pendek masih menjadi pemandangan yang lazim. Di bidang politik misalnya, arah koalisi politik bukan lagi didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi pada azas pemanfaatan. Maka tak pelak, selain demokratisasi, reformasi kemudian berhasil menciptakan para aventurir politik yang oportunis.
Di bidang penegakan hukum, khususnya korupsi, meski telah memiliki lembaga sekaliber Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setiap hari publik masih saja disuguhi berita tentang seorang birokrat, legislator, maupun penguasa daerah yang ditangkap penegak hukum karena menerima rasuah atau 'nyolong" uang rakyat.
Padahal hampir semua orang tahu, salah satu tujuan keberadaan KPK adalah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Harapannya jika pemerintahan bersih maka proses pengelolaan anggaran bakal lebih optimal, birokrasi makin efektif, investasi masuk, dan tujuan menciptakan keadilan sosial bukan lagi sekadar semboyan yang wajib dihafalkan saat sekolah dulu.
Rentetan kasus ini tentu memunculkan tanda tanya, apakah pemberantasan korupsi melalui KPK telah gagal menciptakan good governance? Atau jangan-jangan keberadaan KPK memang sengaja dihadirkan untuk menciptakan keadaan 'seolah' demokratis?
Setali tiga uang dengan situasi di atas, dalam konteks ekonomi, hampir empat rezim pemerintahan berganti pasca lengsernya Soeharto, problem ketimpangan dan kemiskinan juga bukan persoalan yang mudah dituntaskan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sampai dengan 2017 angka kemiskinan berada pada angka 10,2%. Memang angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kondisi awal reformasi yang mencapai lebih dari 20%.
Persoalannya data menunjukkan yang kebalikannya, tahun lalu misalnya pemerintah mengklaim kemiskinan dan pengangguran turun. Kemiskinan bahkan diklaim sebagai penurunan paling besar selama berjalannya sejarah. Tetapi di tengah situasi itu, daya daya beli justru menunjukkan angka paling rendah selama 5 tahun terakhir.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat memberikan kuliah di Universitas Indonesia pekan juga mengakui progres pengentasan kemiskinan mungkin sudah menunjukkan suatu perkembangan yang menggembirakan, tetapi untuk menekan angka kemiskinan sekecil mungkin tentu bukan pekerjaan mudah. Pasalnya, semakin kecil persentase kemiskinan, juga semakin sulit untuk menuntaskannya.
"Menurunkan kemiskinan dari 20% ke 10% itu lebih mudah dibandingkan 10% ke 5%. Karena di sini sebenarnya inti dari kemiskinan itu [berada]," ungkap bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, pekan lalu.
Sisi gelap di fenomena di bidang ekonomi selain kemiskinan adalah ketimpangan. Memang per September tahun lalu, rasio gini Indonesia mencapai 0,391 atau turun 2,2 gini poin dibandingkan dengan 2012. Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas juga menyebutkan bahwa rasio gini Indonesia tercatat paling tinggi di bawah Filipina dan China.
Namun demikian, pada 2015, Bank Dunia memberikan gambaran bahwa ketimpangan terus terjadi di Indonesia. Mereka mengakui selama 15 tahun terakhir mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat. Akan tetapi, manfaat pertumbuhan itu hanya dinikmati 20% masyarakat terkaya, sedangkan 80% masih dalam posisi rawan tertinggal.
Bank dunia juga menyebutkan sebuah survei pada 2014 menunjukkan bahwa penyebab ketimpangan yakni ketidakadilan di sektor pendapatan. Hasil survei, seperti yang dikutip dari laman resmi Bank Dunia menyebutkan sebagian besar masyarakat Indonesia merasa bahwa distribusi pendapatan sangat tidak merata atau sama sekali tidak merata.
Untuk mengecek kebenaran survei itu sebenarnya bukan persoalan yang sulit dilakukan, cukup dengan membandingkan data penerimaan pajak Direktorat Jenderal Pajak. Tahun lalu misalnya, kontribusi orang super kaya yang tercermin dari PPh orang pribadi nonkaryawan hanya Rp11,73 triliun atau hanya 1% dari total penerimaan pajak plus PPh migas sebanyak Rp1.151 triliun. Dari sisi kepatuhan meski sudah diberi tax amnesty, rasio kepatuhan PPh OP nonkaryawan masih bertengger pada angka 61%.
Baik dari sisi kontribusi ke penerimaan maupun tingkat kepatuhan, WP OP nonkaryawan ini lebih rendah dibandingkan dengan WP OP karyawan maupun WP Badan.
Padahal, apabila melihat data Bank Dunia di atas, bisa saja PPh OP nonkaryawan ini termasuk 20% dari orang yang menikmati pertumbuhan ekonomi. Nah, jika realisasi membayar pajak mereka rendah, perputaran uang praktis hanya berada di kalangan mereka, dan hal ini yang membuat ketimpangan terus terjadi.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pihak yang memiliki instrumen kebijakan untuk memastikan distribusi pendapatan bisa berlangsung secara merata memang telah melakukan berbagai langkah nyata. Persoalannya apakah langkah itu tepat sasaran atau tidak itulah yang masih menjadi persoalan hingga kini.
Terlepas baik buruknya proses demokratisasi dan pengelolaan ekonomi selama 20 tahun berjalannya reformasi, tetap saja harapan untuk mengangkat situasi ke arah yang lebih baik terus tumbuh dan bergelora, jika dalam suatu proses itu terdapat suatu rintangan, sambil mengutip satu kalimat dalam puisi 'Peringatan' dari Wiji Tukul, maka hanya ada satu kata: Lawan!!!!