Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Benarkah Perusahaan Keluarga Terancam Punah?

Ada begitu banyak perusahaan tradisional yang telah lama berdiri merasa kondisi mereka baik-baik saja, tanpa menyadari saat ini mereka sedang digempur oleh lawan-lawan yang tak kasat mata. Mereka tidak sadar atau justru menganggap remeh datangnya era disrupsi.

Bisnis.com, KUTA--Ada begitu banyak perusahaan tradisional yang telah lama berdiri merasa kondisi mereka baik-baik saja, tanpa menyadari saat ini mereka sedang digempur oleh lawan-lawan yang ‘tak kasat mata’. Mereka tidak sadar atau justru menganggap remeh datangnya era disrupsi.

Padahal, perlahan-lahan para kompetitor tersebut menggerus kedudukan korporasi-korporasi tradisional, tak terkecuali deretan perusahaan keluarga yang telah lama mendominasi dunia bisnis dan konglomerasi di Tanah Air.

Untuk diketahui, hampir 95% bisnis di Indonesia merupakan perusahaan keluarga. Saat ini mereka dibenturkan dengan era disrupsi, sehingga mau tidak mau mereka harus bersiap dengan sejumlah strategi agar tidak mengalami kepunahan.

Era disrupsi ini mendorong semua bisnis untuk berbenah dengan melakukan serangkaian perubahan untuk bisa tetap eksis. Seperti halnya Bisnis Indonesia yang mendorong penawaran produk dan layanan yang semakin variatif dan komprehensif.

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia Arif Budisusilo mengatakan semula Bisnis merupakan media tradisional yang menyediakan koran dan produk cetakan. Kini, perusahaan itumerambah produk digital seperti e-paper, berita berlangganan, web hosting, dan produk digital lainnya.

“Kami menyediakan konten dan produk mengikuti perkembangan media, yang sifatnya multiplatform,” katanya di sela-sela acara 2nd International Conference on Family Business and Entrepreneurship berkolaborasi dengan President University di Bali.

Dia mengakui saat ini era disrupsi telah menjadi tantangan bagi semua lini bisnis. Selain di media, internet dan teknologi secara keseluruhan telah menjadi tantangan yang nyata bagi perushaaan keluarga.

Sehingga, perusahaan keluarga juga harus bersiap dalam pengelolaan bisnis di era disrupsi. Apalagi, saat ini pergerakan persaingan di dunia industri tidak lagi linier. Perubahannya sangat cepat, fundamental, dan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.

“Cakupan perubahannya sangat luas, mulai dari dunia bisnis, perbankan, transporasi, sosial masyarakat, hingga ke pendidikan. Era ini akan menuntut perusahaan keluarga untuk berubah. Sebab kalau tidak, mereka akan punah,” katanya.

Ketua Yayasan President University Budi Susilo Soepandji  mengatakan tantangan bisnis keluarga di era disrupsi seperti saat ini penting untuk dicarikan solusi. Sebab, bisnis keluarga memiliki peran yang begitu penting bagi perekonomian negara-negara dunia.

Analisis European Family Business (EFB) pada 2012 menyatakan hampir 70%-95% bisnis di sebagain besar negara merupakan bisnis keluarga. Bisnis keluarga berkontribusi sebanyak 60%-90% GDP kebanyakan negara di dunia.

Tak hanya itu, 50%-80% sektor pekerjaan swasta di seluruh negara dunia merupakan perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga juga memberikan pertumbuhan lebih dari 75% di dunia tenaga kerja Amerika Serikat.

“Bisnis keluarga memerlukan strategi yang lebih spesifik untuk tetap bertahan di tengah era bisnis yang penuh disrupsi,” katanya.

TANTANGAN PARIWISATA

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan era dirupsi telah membawa tantangan besar bagi dunia pariwisata Indonesia terutama sejak hadirnya Airbnb.

Airbnb merupakan sebuah perusahaan aplikasi dari San Francisco dengan wilayah operasional di 191 negara, 34.000 kota, dan mencakup 4 juta host. Airbnb dinilai tidak pernah membuka data statistik tentang jumlah persediaan, tingkat hunian, harga jual per wilayah, dan kewajiban pajak.

Dia berkata sampai saat ini kapitalisasi pasar jaringan hotel papan atas seperti Hilton adalah US$23,6 miliar, JW Marriott US$18,0 miliar, dan Host US$12,7 miliar. Ternyata, angka-angka tersebut lebih rendah dari market cap Airbnb yang mencapai US$31,0 miliar.

“Itu karena kita melebih-lebihkan dampak jangka pendek dari teknologi, tetapi menganggap remeh [underestimate] terhadap efek jangka panjangnya,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan perusahaan di Indonesia. Pertama, membenahi lingkungan bisnis seperti membuat perusahaan menjadi lebih fleksibel dan regulasi yang lebih efektif, serta menjadikan data sebagai panduan.

Kedua, peningkatan keterampilan. Ini bisa dilakukan lewat membangun kerja sama yang lebih erat antara dunia pendidikan dengan korporasi, kemudian merancang keterampilan-keterampilan apa saja yang dibutuhkan pada masa mendatang.

Ketiga, melakukan inovasi. Perusahaan perlu menerapkan teknologi dan aplikasi digital sedini mungkin. Di antaranya dengan menerapkan e-platforms untuk sarana sharing praktik-praktik kerja terbaik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper