Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

REVISI UU KUP: Perusahaan Kesulitan Likuiditas Bisa Dapat Keringanan

Bisnis.com, JAKARTA Perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas akan memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak.
Ilustrasi penagihan pajak./Istimewa
Ilustrasi penagihan pajak./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas akan memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak.

Skema ini rencananya diterapkan bagi wajib pajak (WP) badan yang mengalami krisis modal, sehingga bisa mempengaruhi kelangsungan usahanya.

Ketentuan ini akan diatur dalam Pasal 78 dan 79 Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sekarang mandek dibahas di parlemen. Dalam bahan kluster RUU KUP yang dibuat tanggal 1 Maret 2018, kewenangan untuk menentukan baik pengurangan maupun penghapusan itu ada di tangan kepala lembaga.

Kewenangan tersebut mengalami perluasan. Pasalnya, dalam UU KUP yang digunakan saat ini, kewenangan Dirjen Pajak untuk mengurangi atau membatalkan sanksi administrasi hanya dilakukan ketika wajib pajak khilaf atau karena bukan kesalahan wajib pajak.

Adapun selain pengusaha yang mengalami kesulitan likuiditas, kriteria perolehan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif ini juga berlaku karena kealpaan wajib pajak, bukan kesalahan pembayar pajak, karena bencana alam, kebakaran, kerusuhan massal atau kejadian luar biasa lainnya yang membuat wajib pajak tak bisa melakukan kewajiban perpajakan, dan yang terakhir adalah dilakukan untuk kepentingan penerimaan negara.

Dalam konteks penerimaan negara ini, proses pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi bisa diberikan jika bersifat massal dalam rangka melakukan pembinaan dan memotivasi pembayar pajak untuk lebih patuh atau mengantisipasi kondisi perekonomian tertentu.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama belum memberikan komentar terkait perluasan skema tersebut.

Sebagai gambaran, ada empat alasan mengapa UU KUP perlu dirombak. Alasan pertama, sesuai bahan pemerintah, perubahan itu untuk mewujudkan pemungutan pajak yang berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga peran serta masyarakat sebagai pembayar pajak terdistribusikan tanpa ada pembeda.

Kedua, mewujudkan administrasi perpajakan yang mudah efisien, dan cepat. Ketiga, menyesuaikan administrasi perpajakan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Keempat, menurunkan biaya kepatuhan pajak (cost of compliance) dan biaya pemungutan pajak (cost of tax collection).

Selain perubahan secara substansial, perubahan itu juga mengubah sistematika dan tata urutannya. Komposisi perubahan substansinya bahkan lebih dari 50%. Dari jumlah bagian misalnya, UU KUP tahun 1983 hanya terdiri 11 bagian, tahun 2007 terdiri 11 bagian, sedangkan RUU KUP yang dibahas saat ini berlipat menjadi 23 bagian. Jumlah pasal pun demikian dari 50 pada 1983, tahun 2007 menjadi 70 pasal, RUU KUP berlipat sebanyak 129 pasal.

Perombakan besar dilakukan karena sistematika penyajian dalam UU KUP existing belum sesuai alur proses bisnis administrasi perpajakan. Selain itu, karena telah berubah sebanyak empat kali, beberapa substansi dalam UU KUP saat ini tak sesuai dengan pengelompokan bagian.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper