Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan terburu-buru dalam menentukan kebijakan untuk menanggapi isu perang dagang antara AS dan China.
"Biar saja dia perang dagang, ya, itu kan lanjutan dari kebijakan yang lalu yang mereka ambil," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Seperti diketahui, salah satu fokus pembahasan negara G-20 di Argentina beberapa hari lalu adalah kebijakan ekonomi yang proteksionis dan berorientasi ke dalam. Kebijakan proteksionis tersebut dikhawatirkan dapat memicu munculnya perang dagang.
Menurut Darmin, hasil perang dagang tidak selalu negatif terhadap perekonomian domestik. Dia menuturkan barang yang tidak dapat masuk ke AS kemungkinan besar masuk ke pasar domestik dengan harga yang lebih murah.
"Positifnya, kalau barang-barang yang tadinya tidak dijual ke sana [AS] dibawa ke sini dengan harga lebih rendah, konsumen kita dapat lebih murah," jelas Darmin.
Namun, dia tidak memungkiri jika barang impor yang datang dengan harga murah tersebut dapat mengganggu pelaku usaha domestik.
"Pengusaha yang menghasilkan barang yang sama mendapatkan saingan yang lebih ketat," tambah Darmin.
Seperti diketahui, China menyatakan akan membalas serangan balik kebijakan tarif impor AS. Pemerintahan Xi Jinping telah menyusun daftar berisi 128 produk asal AS yang dapat dijadikan target pengenaan tarif impor jika kedua negara tidak bisa mencapai kesepakatan perdagangan.
Negeri Panda tengah mempertimbangkan pengenaan tarif impor sebesar 15% untuk produk buah kering, wine, dan pipa besi dari AS. Sementara itu, produk babi dan aluminium daur ulang kemungkinan bakal dikenakan tarif sebesar 25%.
Sebelumnya, Trump menandatangani sebuah memorandum yang berisi rencana pengenaan tarif impor senilai US$60 miliar atas sejumlah produk China. Hal ini didasarkan atas klaim adanya penyalahgunaan kekayaan intelektual AS oleh perusahaan-perusahaan China.
Langkah Trump tersebut dilakukan menyusul penetapan tarif impor sebesar 25% untuk produk baja dan 10% produk aluminium termasuk yang berasal dari China, baru-baru ini. Kebijakan tersebut menjadi sorotan dunia karena dinilai sebagai bentuk proteksionisme yang harus dilawan dan dikhawatirkan dapat memicu perang dagang.