Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM berupaya mencari solusi bagi kredit macet koperasi dan UKM dengan para pemangku kepentingan.
Deputi Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Abdul Kadir Damanik mengungkapkan, tidak tertutup kemungkinan kredit dari bank yang diterima Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) memiliki potensi permasalahan dalam pengembaliannya.
Penyebabnya, bisa faktor internal seperti kegagalan usaha, maupun faktor eksternal seperti adanya krisis moneter dan kejadian di luar kemampuan debitur.
"Meski begitu, KUMKM yang memiliki kredit bermasalah merupakan fenomena yang tidak dapat diabaikan dan memerlukan upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit," ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Menekan Risiko Kredit Macet KUMKM, di Jakarta, Selasa (13/3/2018).
Hal tersebut, ujarnya, agar tidak berdampak pada likuiditas keuangan KUMKM, yang dapat mengganggu kelancaran dan keberlangsungan usahanya.
"Agar tidak menjadi bangkrut atau kolaps," katanya.
Dia menjelaskan kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya.
"Kredit macet merupakan kredit bermasalah dimana debitur tidak mampu membayar minimum pembayaran yang telah jatuh tempo lebih dari tiga bulan," ujarnya.
Dia menjelaskan, kredit merupakan salah satu sumber pendanaan bagi KUMKM yang diperlukan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan usahanya, dan sumber pendanaan kredit terbesar diperoleh melalui lembaga keuangan atau perbankan.
"Dalam pemberian kredit umumnya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan KUMKM selaku debitur dan mewajibkan untuk melunasi utangnya dengan jangka waktu tertentu beserta bunga pinjaman," katanya.
Kredit yang diterima dan atau diberikan kepada KUMKM dilakukan berdasarkan pertimbangan kelayakan KUMKM sebagai debitur perbankan.
"Bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan kepada KUMKM benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan," ujarnya.
Namun, restrukturisasi kredit KUMKM masih menghadapi berbagai permasalahan. Pertama, restrukturisasi kredit yang diberlakukan lembaga keuangan perbankan dan lembaga pembiayaan masih dirasakan berat oleh KUMKM.
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai pengaduan yang disampaikan oleh Koperasi dan UMKM.
Kedua, implementasi dari kebijakan restrukturisasi tersebut tidak diatur secara jelas oleh pemerintah dalam arti, setiao bank diberikan kelonggaran untuk menyusun kebijakan restrukturisasinya masing-masing.
"Pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja. Perbedaan kebijakan seperti ini dapat menimbulkan kebingungan dan keraguan di kalangan KUMKM sebagai debitur," ujarnya.
Ketiga, masih terjadinya moral hazard di kalangan perbankan yang lebih memilih untuk melakukan pelelangan atas aset debitur, karena pada umumnya nilai aset debitur lebih tinggi dari pada nilai kredit.
"Moral hazard juga terjadi di kalangan debitur yang menunda pembayaran sambil menunggu keringanan pembayaran yang ditanggung oleh pemerintah," katanya.
Keempat, debitur KUMKM memiliki keterbatasan dan kendala dalam bernegosiasi dengan bank untuk menyelesaikan kredit.