Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Petani Kakao Indonesia, APKAI, mendorong dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan untuk komoditas kakao. Namun, hal itu diiringi catatan bahwa pajak ekspor kakao tidak ditetapkan sampai 15% dan dilakukan penghapusan PPN untuk biji kakao.
Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian mengusulkan bea keluar flat untuk ekspor komoditas biji kakao sebesar 15% dari skema saat ini.
Skema tersebut merujuk pada aturan tarif progresif dengan pengenaan tarif bea keluar bergantung pada fluktuasi harga acuan biji kakao internasional. Semakin rendah harga komoditas tersebut di pasar global, semakin rendah tarif bea keluar yang dikenakan. Begitu pula sebaliknya.
“Itu tidak masalah. Cuma, yang perlu digarisbawahi, pajak ekspor kakaonya jangan 15%, saya tidak setujunya 15% itu,” kata Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Arief Zamroni ketika dihubungi Bisnis, Rabu (14/2/2018).
Di sisi lain, Arief meminta agar pemerintah mengenakan pajak ekspor terhadap produk setengah jadi hasil olahan kakao seperti cocoa butter, cocoa powder, dan pasta yang menurutnya saat ini hanya dikenakan pajak industri.
Bea keluar yang dikenakan atas dua jenis produk yakni untuk biji kakao dan produk setengah jadi inilah yang diharapkan menjadi sumber dana BPDP dan bisa dikembalikan kepada para petani kakao rakyat. Semua itu demi perbaikan kualitas dan volume produksi kakao dalam negeri.
Baca Juga
“Sederhana, [dana hasil pungutan BPDP ini] kembalikan ke kakao. Satu, untuk rehabilitasi perkebunan, kedua ekstensifikasi, kemudian yang ketiga adalah pendampingan,” tambahnya.
Arief menceritakan saat ini perkebunan kakao Indonesia, baik jumlah produksi dan lahannya, semakin menyusut karena berbagai hal.
Tanaman kakao milik rakyat yang semakin menua membuat produksi menurun. Menurutnya, tanaman yang menua ini memerlukan rehabilitasi baik melalui sambung pucuk, sambung samping, juga pemangkasan total jika memang diperlukan.
Selain itu, lemahnya harga kakao juga menyebabkan banyak petani mengalihkan fungsi lahan untuk menanam komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Dana BPDP diharapkan bisa disalurkan untuk mengembalikan fungsi lahan yang sudah beralih atau membuka lahan perkebunan kakao baru.
Hal berikutnya penyebab penurunan produktivitas dan memerlukan bantuan yang diharapkan bisa bersumber dari BPDP adalah tenaga penyuluh untuk meningkatkan pengetahuan dan kemandirian para petani rakyat.
Ketiga hal ini sesuai dengan peruntukan BPDP yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.
Kendati demikian, dia mengingatkan agar pungutan ini jangan sampai berimbas pada kerugian petani yang berpotensi membuat semakin menyusutnya lahan perkebunan kakao.
“Saya melihatnya memang karena organisasi sawit kan organisasi yang dikelola korporasi swasta ya sehingga pengambilan dananya kan lebih gampang, sedangkan kalau kakao kan miliknya rakyat, pengambilannya jangan sampai kena di petani lagi,” pungkasnya.