Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menilai pemerintah perlu memberikan proteksi dan insentif kepada pengusaha bioskop independen guna bertahan di tengah gempuran bioskop asing yang memasuki Tanah Air.
Ketua GPBSI Djonny Sjafruddin menjelaskan pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha bioskop independen bila ingin bersama mencapai target 2.000 layar bioskop dalam 2 tahun ke depan. Berdasarkan data GPBSI, hingga 2017 terdapat 280 gedung bioskop dengan jumlah layar mencapai 1.359 layar.
“Bukan kita anti perdagangan global, tetapi proteksinya terhadap pengusaha lokal masih kurang. Sekarang mulai terjadi, bioskop independen yang selama berpuluh tahun berdiri, lalu datang pemain asing, bioskopnya jadi mati. Persaingannya tidak sehat,” ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (6/2/2018).
Dia menjelaskan saat ini terdapat 130 layar bioskop independen yang berdiri, yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.
Untuk menghindari persaingan tidak sehat, dia pun merekomendasikan pemerintah untuk mengarahkan pemain bioskop asing untuk membuka layar baru di ibu kota provinsi, atau kota/kabupaten yang belum terdapat bioskop independen.
“Dari 34 provinsi ini, masih ada lima provinsi yang belum ada bioskop, seperti di Aceh, Kalimantan, Papua,” jelasnya.
Selain itu, dia pun berharap pemerintah dapat memfasilitasi perbankan untuk memberikan kredit bunga ringan kepada pengusaha bioskop guna meningkatkan gairah sektor swasta terutama pengusaha daerah dalam mendirikan bioskop. Pasalnya, investasi bioskop memerlukan modal yang cukup besar.
Dia menyebutkan untuk mendirikan satu layar bioskop, pengusaha memerlukan modal Rp2 miliar untuk bioskop independen hingga Rp6 miliar untuk bioskop yang besar, di mana Rp1,2 miliar di antaranya untuk proyektor dan sistem suara.
Selain itu, insentif lain yang diperlukan adalah keringanan tarif listrik dan perpajakan. Djonny menyebut saat ini pajak hiburan tontonan belum memiliki standar yang sama di setiap daerah, ada yang menerapkan 10%, 25%, hingga 30%.
“Saat menyusun perda pajak tontonan itu biasanya bioskop belum ada di daerah tersebut. Biasanya pajak yang tinggi ada di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi. Tapi kita tidak putus asa, kita biasanya dekati pemda dan berikan pemahaman,” ungkapnya.
Seperti diketahui, pembukaan Daftar Negatif Investasi (DNI) 100% asing di bidang perfilman pada 2016 lalu telah membuat sejumlah investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya.
Sejumlah investor besar yang datang dari China dan Korea Selatan (Lotte Cinema) disebut-sebut berminat membuka jaringan bioskop di Indonesia.