Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pembentukan Bank Tanah Tidak Urgen

Dimasukkannya pasal terkait bank tanah ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan bisa menimbulkan polemik karena mengakibatkan ketimpangan.
Sejumlah anak bermain sepak bola di lahan kosong bantaran sungai Cileungsi, Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/3)./Antara-Yulius Satria Wijaya
Sejumlah anak bermain sepak bola di lahan kosong bantaran sungai Cileungsi, Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/3)./Antara-Yulius Satria Wijaya

Bisnis.com, JAKARTA—Dimasukkannya pasal terkait bank tanah ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan bisa menimbulkan polemik karena mengakibatkan ketimpangan.

Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Pertanahan yang diberikan pemerintah, terdapat pasal terkait dengan bank tanah yang mengakibatkan RUU Pertanahan justru kehilangan fungsi sosial terkait dengan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA yang menyatakan ‘Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.’

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan kewenangan Batanas adalah melakukan pengadaan tanah, menyewakan tanah kepada pihak ketiga, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam memanfaatkan aset serta memanfaatkan dan mengelola hasil usaha untuk kegiatan operasional dan pengembangan.

Badan ini terdiri dari Komite Batanas, Badan Pengawas, dan Badan Pelaksana. Sedangkan sumber objeknya berupa tanah cadangan umum negara (TCUN), tanah terlantar, pelepasan hak tanah, dan tanah timbul (tanah tak bertuan). Sumber dananya berasal dari APBN, hasil pengembangan aset badan, pinjaman luar negeri, pinjaman perbankan dan lembaga keuangan lainnya, dan sumber lainnya.

Menurut Dewi, dalam situasi agraria saat ini, dasar-dasar pembentukan bank tanah (Batanas) tidak relevan dan urgen dan malah berpotensi menambah daftar masalah regulatif, ketimpangan dan konflik.

“Kecuali jika RUUP mampu menjawab masalah sosial ekonomi, sebagai akibat proses pengadaan tanah yang menyimpang dan merugikan serta menegaskan code of conduct akuisisi tanah untuk investasi dan pembangunan,” katanya kepada Bisnis Rabu, (31/1/2018).

Dalam skema redistribusi tanah, menurutnya, berdasar catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, saat ini terdapat 400.000 hektare lahan yang didapat dari hak guna usaha (HGU) yang sudah habis dan tanah terlantar. Menurutnya, jumlah itu terlalu kecil bagi tujuan agenda reformasi Agraria.

Padahal, katanya, dia memperkirakan saat ini terdapat 10.368 sertifikat HGU seluas 33,5 juta hektare dan sekitar 7 juta hektare tanah yang terindikasi terlantar. Sayangnya tidak ada keterbukaan data HGU, dan hak guna bangunan HGB (status dan kondisinya) untuk kepentingan reformasi agraria.

“Di mana saja lokasi 400.000 hektare HGU yang habis dan terlantar itu? Bagaimana pula dengan HGU yang aktif tapi bermasalah?” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper