Bisnis.com, JAKARTA— Sejumlah pelaku industri perhotelan masih memanfaatkan momen 2018 untuk meningkatkan jangkauan di Indonesia.
Hal tersebut juga terkonfirmasi dengan riset STR bahwa Indoensia akan mendapatkan tambahan kamar sebanyak 55.000 dengan total pembangunan hotel baru mencapai 300 dalam lima tahun mendatang.
“Ekspansi masih akan dilakukan oleh industri perhotelan, termasuk AccorHotels Indonesia. Tetapi ekspansi itu tidak akan berlangsung secara besar-besaran karena kondisinya masih belum mendukung. Bahkan, masih banyak investor yang masih wait and see dalam 2-3 tahun mendatang,” kata Director Operation AccorHotels Indonesia Fabrice Mini pada sela-sela paparan The Hotel Week Indonesia, Kamis (23/11).
Dia menyebutkan AccorHotels berencana untuk menambah hotel yang dikelola mencapai 13 unit pada tahun depan dan disusul 30 hotel baru pada 2019. Kendati demikian, Fabrice mengungkapkan rencana tersebut juga masih mempertimbangkan kondisi ekonomi pada tahun mendatang.
Komitmen AccorHotels Indonesia untuk melanjutkan ekspansi tahun depan juga dilatarbelakangi oleh tumbuhnya industri pariwisata Tanah Air. Tingginyan pertumbuhan pasar domestik diakuinya juga akan diikuti dengan pertumbuhan pasar wisatawan mancanegara (wisman) di masa yang akan datang.
Saat ini, dia mengakui persaingan hotel di Indonesia semakin ketat dengan persebaran yang terpusat di beberapa daerah saja. Sayangnya kenaikan suplai tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan sehingga menggerus harga rata-rata per kamar (average daily rate/ADR) di suatu kawasan.
Misalnya, dia mencontohkan ADR di Yogyakarta saat ini senilai Rp440.000-Rp550.000 untuk segmen bintang 4 dan 5. Angka tersebut tercatat mengalami penurunan jika dibandingkan dengan ADR pada 10 tahun yang lalu senilai Rp600.000-Rp650.000.
“Indonesia termasuk negara yang sangat liberal karena tidak ada regulasi yang mengatur harga kamar hotel. Sangat terbuka dengan mempertimbangkan momen, permintaan, dan suplai,” tukasnya.
Per Oktober 2017, data STR menunjukkan okupansi hotel di Indonesia meningkat 1,9% menjadi 64,4% dengan penurunan pada ADR sebesar 1,3% menjadi Rp980.023,75. Pada periode yang sama, keuntungan per kamar (Revenue per Available Room/RevPAR) tumbuh 0,6% menjadi Rp630.662,71.
RevPAR tumbuh tipis setelah mengalami penurunan terus-menerus selama 3 tahun terakhir. Kinerja positif didorong oleh pasar di Jakarta dan Surabaya yang menunjukkan peningkatan permintaan masing-masing 10% dan 14,4% (year-to-date). Sebaliknya, pasar di Bali mengalami penurunan permintaan hingga 6,2% pada Oktober 2017 akibat musibah Gunung Agung.
Selain persoalan kelebihan pasokan, dia menjelaskan industri perhotelan di Indonesia harus menghadapi disrupsi digital dengan masuknya Airbnb, platform penyewaan kamar online. “Saya melihat ada peningkatan cukup tinggi dari sisi ketersediaan properti di Airbnb di beberapa kota misalnya Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta,” tekannya.
Padahal di Bandung dan Yogyakarta, dia menilai jumlah hotel sudah cukup banyak sehingga menggerus ADR. Hal tersebut diperparah dengan keberadaan keberadaan platform online semacam ini.
Sementara itu, Satria Wei, Managing Director Panorama Hospitality Management (PHM), masih meyakini bahwa industri hotel masih memiliki prospek yang cerah ke depan.
Berbeda dengan operator hotel asing yang gencar melakukan ekspansi di kota-kota besar, PHM justru membidik kota kedua dan ketiga karena di kawasan tersebut persaingannya belum tinggi sehingga ADR-nya juga masih tinggi.
Tak jauh berbeda, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani juga menyebutkan prospek industri ini cukup cerah karena potensi pasar domestiknya saja masih besar. Belum lagi, peluang penambahan dari kunjungan wisman ke Indonesia.
“Perkembangan teknologi juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan okupansi saat ini,” tambahnya.
Dia merinci komisi untuk OTA bisa berkisar mulai dari 20%-30% dari harga unit kamar. Tak hanya itu, kehadiran OTA asing juga menjadi perhatian utama PHRI.
Pasalnya, kehadiran OTA asing di Indonesia membuat perhitungan pembayaran pajaknya menjadi rumit karena perusahaan tersebut tidak memiliki badan hukum tetap di Indonesia. “Jika hotel harus membayar pajak mereka, tentu saja kami keberatan,” ujarnya.
Selain itu, Hariyadi juga menyoroti kehadiran Airbnb yang mengaplikasikan penyewaan properti mulai dari kamar kosan sampai apartemen untuk menginap para tamu. Dia memperkirakan kehadiran model bisnis semacam itu tidak adil dan menggerus okupansi hotel dan resor konvensional.