Bisnis.com, JAKARTA—Produsen alat berat optimistis penjualan mampu terkerek 10% sepanjang tahun ini. Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia Jamaluddin menyatakan permintaan terhadap produk alat berat terus melonjak sejak paruh kedua tahun ini.
“Pertumbuhan permintaan yang paling pesat terutama pada produk-produk di atas 20 ton untuk sektor konstruksi. Seperti misalnya excavator untuk pembangunan jalan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (20/11/2017).
Permintaan terhadap alat berat masih bertumpu pada sektor utama konstruksi dan pertambangan. Sementara itu, sektor perkebunan menyumbang porsi yang tak begitu signifikan. “Mungkin karena harga batu bara sedang bagus dan pembangunan selalu lancar di akhir tahun,” ujarnya.
Menurutnya, penjualan pada tahun berjalan sudah melampaui kinerja penjualan sepanjang 2016. Per kuartal ketiga tahun ini, penjualan alat berat mencapai 4.036 unit, atau naik 60% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penjualan alat berat sepanjang 2016 lalu sebanyak 4.065 unit.
“Penjualan kuaartal ketiga secara umum bagus sekali. Penjualan untuk tahun ini rasanya sudah pasti menembus 4.400 unit,” ujarnya.
Jamaluddin berpendapat pengenaan pajak kendaraan bermotor pada alat berat tak begitu berdampak signifikan terhadap kinerja penjualan karena pengenaan pajak tersebut dipungut langung kepada konsumen.
“Bagi kami sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap penjualan. Pengaruhnya justru terasa langsung kepada user, yaitu sektor konstruksi dan tambang,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia Tjahyono Imawan menyatakan pebisnis sektor konstruksi, pertambangan, dan perkebunan merasa terbebani dengan pungutan pajak kendaraan bermotor pada alat berat.
Pebisnis menganggap alat berat seperti traktor, excavator, dan buldoser merupakan peralatan kegiatan produksi, bukan kendaraan. Pengenaan pajak terhadap alat berat juga dianggap sebagai pungutan ganda.
“Karena pengusaha pengguna alat berat sudah dikenakan pajak pada hasil produksinya,” ujarnya.
Meski tidak menyetujui PKB pada alat berat, pengusaha tetap patuh membayarkan pungutan tersebut. Hanya saja, menurutnya, pengusaha semakin dilanda ketidakpastian lantaran pungutan tersebut terus berlanjut meski putusan Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan ketentuan itu.
“Secara bersamaan itu menciptakan ketidakpastian hukum bagi pengusaha,” ujarnya.
Tjahyono menyatakan bahkan tidak sedikit pengusaha sektor pertambangan yang mendapay tekanan pemerintah daerah setempat untuk melunasi pungutan tersebut. Umumnya, daerah yang menekan pengusaha pengguna alat berat tersebut bertumpu pada sektor pertambangan dan perkebunan.
“Kebanyakan di luar Jawa, misalnya di Kalimantan sudah banyak yang mengadukan dikejar-kejar bayar untuk bayarkan PKB alat berat. Padahal, penerapan pajak ini tidak adil dan sudah tidak lagi punya landasan hukum,” ujarnya.
Tjahyono menyatakan tarif pajak kendaraan bermotor pada alat berat sebesar 0,5% dari nilai pembelian. Angka tersebut belum termasuk bea balik nama pada transaksi penjualan alat berat.
Pungutan itu menjadi salah satu tumpuan penerimaan pemerintah daerah yang menggantungkan ekonominya pada pada sektor pertambangan. “Akibatnya upaya pemerintah daerah agresif sekali meminta kami membayarkan pajak alat berat,” ujarnya.