Bisnis.com, JAKARTA- Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Agung Sudjatmoko mengatakan di luar kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi, banyak kendala yang dihadapi oleh koperasi di Indonesia yang ingin mengekspor produknya ke luar negeri.
Terbatasnya sumber daya manusia (SDM) pengurus koperasi, pengetahuan dan kondisi jaringan pasar internasional, dinamika bisnis di negara tujuan, dan pembiayaan adalah beberapa di antaranya.
"Salah satu jalan untuk bisa ekspor menjadi sub penyedia produk yang diekspor dulu oleh perusahaan eksportir. Dengan begitu, diharapkan pada saatnya nanti koperasi mempunyai kemampuan untuk ekspor produknya sendiri," ujar dia kepada Bisnis, belum lama ini.
Selain melalui pihak ketiga, langkah lain yang dapat dilakukan adalah rajin mengikuti pameran atau pelatihan mengenai tata cara ekspor. Tujuannya, agar kapasitas pengelola koperasi menjadi semakin baik.
Pengetahuan mengenai perilaku konsumen di negara tujuan pun penting dilakukan supaya produk yang dikirim bisa menghasilkan keuntungan.
Menurut Agung, jumlah koperasi yang melakukan ekspor secara langsung masih minim. Namun, ada beberapa koperasi yang berhasil menjadi sub penyedia produk ekspor seperti KUD Babarurayan di Aceh dengan produk berupa kopi serta sebuah KUD lain di daerah Tana Toraja, Sulawesi yang menyediakan produk cengkeh dan kopi.
Mengacu pada data Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini terdapat 212.000 koperasi yang ada di seluruh Indonesia. Tetapi, dari jumlah tersebut sebanyak 62.000 koperasi di antaranya dinyatakan tidak aktif dan telah dibekukan oleh pemerintah.
Dengan demikian, hanya 155.000 koperasi yang diklaim masih aktif. Itu pun tidak berarti semuanya sehat.
Dekopin menuturkan pada praktiknya di luar negeri pun ada dua kelompok koperasi. Pertama, koperasi yang produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan anggota dan memasarkannya di dalam negeri. Kedua, koperasi yang ekspor karena kelebihan produksi atau melakukan impor karena kebutuhan anggota yang tidak bisa dipenuhi oleh produk di dalam negeri.
Indian Farmers Fertiliser Coopoerative Limited (IFFCO) adalah salah satu contoh koperasi yang mengekspor pupuk buatannya karena kelebihan produksi. Japan Agricultural Cooperatives (JA) khusus mendirikan anak perusahaan yang bertugas memasarkan produk-produk pertanian Negeri Sakura ke Kanada dan AS. Koperasi ini bahkan membangun pabrik pupuk sulfat di Yordania dan mengirimkan produknya ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan petani anggotanya.
Agung menambahkan selama ini banyak kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk membantu koperasi dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk dalam hal ekspor. Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) adalah satu di antaranya.
"Selama ini kebijakan sudah banyak tapi di aspek mikro koperasinya siap atau tidak? Ini masalahnya. Artinya, segala persyaratan KITE itu bisa dipenuhi tidak oleh koperasi?" papar dia.
KITE merupakan fasilitas yang memberikan pengembalian dan pembebasan bea masuk serta PPN impor untuk produksi barang yang akan diekspor. Fasilitas ini diberikan kepada Industri Kecil dan Menengah. Syaratnya, sudah mempunyai Nomor Induk Perusahaan (NIPER) yang didapatkan dari Kepala Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama (KPU) yang mengawasi lokasi pabrik atau tempat pengolahan berada.