Bisnis.com, JAKARTA — Gencarnya kampanye mobil listrik dan energi ramah lingkungan diperkirakan belum akan mampu mencapai tujuan dari Kesepakatan Paris 2015 (Paris Agreement) untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius.
Ditlev Engel, Chief Executive DNV GL, sebuah perusahaan konsultan energi yang berkantor pusat di Belanda, mengatakan bahwa upaya menuju kendaraan listrik itu setidaknya bakal mengurangi emisi karbon seperti dalam Kesepakatan Paris 2015.
Menurutnya, upaya global untuk mendorong kendaraan listrik diproyeksikan akan membuat seluruh kendaraan penumpang yang terjual secara global akan menjadi mobil listrik pada 2035.
"Trennya sangat jelas bahwa dunia ini menuju elektrifikasi, energi terbarukan mengambil lebih banyak porsi, kita beralih ke mobil listrik, tetapi kita harus ingat bahwa kita berpacu melawan waktu. Itu tidak cukup," kata Engel seperti dikutip dari Reuters, Selasa (5/9).
Dia mengatakan, pada proyeksi saat ini, dunia tidak akan mencapai tujuan untuk membatasi pemanasan global sampai di bawah 2 derajat Celcius pada 2050, seperti yang dijanjikan dalam Kesepakatan Paris 2015.
"Apa pun yang bisa Anda ganti hari ini, Anda harus mempercepat [kendaraan dan energi ramah lingkungan]. Kecepatan pelaksanaannya harus lebih cepat dan saat ini, hanya bisa terjadi jika sektor publik dan swasta berkoordinasi," katanya di markas DNV GL di Arnhem, Belanda.
Di sisi lain kesepakatan Paris yang dipimpin PBB, pemerintah di berbagai negara mulai mengumumkan kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon yang merugikan iklim, seperti Inggris menjanjikan larangan penjualan mobil diesel dan bensin baru pada 2040.
Hal serupa juga dilakukan pemerintah Indonesia yang sedang menyusun peta jalan kendaraan listrik.
Meningkatnya produksi listrik akan menjadi pendorong utama penggunaan energi yang lebih efisien karena konsumen beralih dari bahan bakar fosil dengan efisiensi rendah.
Akibatnya, sumber energi terbarukan akan mencapai 85% dari produksi listrik global pada 2050, berdasarkan proyeksi DNV GL.
Menurutnya, kendati terjadi lonjakan energi baru terbarukan, konsumsi gas bumi bakal menyalip pemakaian bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi terbesar pada 2034. Hal itu tercermin dari investasi di sektor hulu migas yang lebih dominan ke lapangan gas alam.