Bisnis.com, BANDUNG - Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur terkait dengan upah industri padat karya tertentu khusus garmen untuk empat daerah.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Ferry Sofwan Arief mengatakan SK khusus tersebut sudah dikeluarkan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dalam pekan ini untuk Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Bogor, dan Purwakarta.
“Sudah keluar SK-nya untuk empat daerah awal pekan ini,” katanya di Bandung, Jabar, pada Kamis (3/8/2017).
Menurutnya, dalam empat SK khusus tersebut besaran upah masing-masing diputuskan berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan serikat pekerja setempat.
Pertama untuk Kota Bekasi dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Rp3,601 juta setelah kesepakatan menjadi Rp3,100 juta, sedangkan Purwakarta dari UMK Rp3,169 juta menjadi Rp2,564 juta.
Sementara, untuk Kota Depok dari UMK 2017 sebesar Rp3,297 juta, di dalam SK khusus upah sektor garmen menjadi Rp2,930 juta dan Kabupaten Bogor berubah dari Rp3,204 juta menjadi Rp2,810 juta.
Berbekal SK tersebut, Apindo bisa melakukan pembayaran upah, namun setelah mendapat rekomendasi dari kepala daerah setempat. “Mekanismenya pembayaran harus melalui rekomendasi dari bupati wali kota, beda dengan upah minimum sektoral yang hanya butuh bipartit.”
Ferry mengemukakan penetapan angka itu tidak jauh dari pengajuan empat daerah pada Pemprov sebelumnya.
Pihaknya menegaskan keluarnya empat SK ini hanya akan dibatasi untuk empat daerah agar tidak menjadi preseden bagi daerah lain. “Ini khusus garmen di empat daerah, sudah ditegaskan dalam rapat dengan Wakil Presiden, jadi jangan sampai ada salah pemahaman.”
Dalam SK khusus tersebut, perusahaan yang mendapatkan keringanan ini menurutnya memiliki karyawan di atas 200 orang.
Selain itu, komponen upah yang dikeluarkan perusahaan garmen tersebut minimal 15% dari biaya produksi. “Dilihat dari sisi informasi yang kami dapatkan, komponen upah 3 tahun terakhir sudah di posisi 60%, jadi mereka [pengusaha] merasa berat,” katanya.
Ferry meminta setelah SK ini keluar, perusahaan harus segera mensosialisasikan pada karyawannya. Dari data Apindo, kemungkinan ada sekitar 200 perusahaan atau lebih yang akan menerapkan di empat daerah. Menurut dia, keputusan gubernur itu berlaku sejak ditetapkan, tetapi ada bahasa yang harus dibaca seutuhnya ada satu diktum, pembayaran upah dimulai sejak Januari 2017.
Terpisah, keluarnya SK Gubernur itu seolah membawa harapan agar sektor garmen atau padat karya lainnya tetap bertahan di Jabar.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi Diko Adilasa Putra mengatakan sektor garmen di wilayahnya bisa terselamatkan dengan adanya SK tersebut.
"Menarik investor itu susah dan sekarang mereka sudah ada di sini, masak mau disia-siakan begitu saja. Pertemuan dengan Wapres sebagai mediator dengan Kementerian Tenaga Kerja membawa dampak positif bagi kami, apalagi SK ini berlaku sejak Januari 2017 dan akan diperbarui setiap tahunnya," ujarnya.
Sebenarnya, untuk upah padat karya telah diatur lewat Permen Perindustrian No 51/2013. Hanya, ada persyaratan yang harus dipenuhi agar masuk dalam kategori padat karyawa antara lain setiap perusahaan memiliki tenaga kerja paling sedikit 200 orang, presentase biaya tenaga kerja dan produktivitas paling sedikit 15%, harus ada kesepakatan serikat pekerja dengan pengusaha.
"Setiap kebijakan ada yang suka dan tidak suka itu wajar. Kalau di bawah sudah tidak ada masalah. Kami menjaga sektor garmen tetap kondusif," paparnya.
Dia menilai kisruh upah sektor padat karya yang sempat terjadi di empat wilayah tersebut sudah seharusnya menjadi pelajaran agar di kemudian hari tidak kembali terulang. Pasalnya, tidak mudah mendatangkan investor terutama di tengah pelambatan ekonomi global.
Seperti diketahui, para pengusaha garmen di empat daerah tersebut sempat mengancam akan angkat kaki jika Gubernur Jabar tidak segera mengeluarkan SK mengenai penetapan upah padat karya tertentu. Masalahnya, apabila SK itu tak kunjung keluar secepatnya, 97.569 karyawan akan kehilangan pekerjaan akibat perusahaan gagal tidak mendapatkan order.