Bisnis.com, JAKARTA- Peluang perluasan pembayaran royalti musik di Indonesia cukup besar karena tingkat perekonomian negara ini yang terus tumbuh. Hal tersebut juga memacu pertumbuhan iklim bisnis, terutama di sektor properti dan media penyiaran.
“Musik selalu dibutuhkan, mulai dari nada tunggu telepon di perkantoran, lagu-lagu yang diputar di pusat perbelanjaan dan alat transportasi yakni kereta api, pesawat, dan kapal laut. Tapi lagi-lagi upaya penagihan kepada pemilik usaha memang tidak mudah di tengah terbatasnya sumber daya manusia di LMKN,” kata Imam Haryantoe, Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kepada Bisnis, baru-baru ini.
Sesuai dengan Pasal 87 UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang menegaskan bahwa setiap Pencipta Lagu/Musik, Penyanyi, Pemusik, Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, dan Pemilik Hak Terkait lainnya harus menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) agar mereka dapat memperoleh hak ekonomi atas karyanya, termasuk royalti.
Berdasarkan aturan ini, LMKN adalah lembaga yang berhak memungut royalti dari para pengguna Hak Cipta dan hak terkait.
Saat ini, LMK yang telah mendapat SK dari Kementerian Hukum dan HAM RI berjumlah 6 LMK yang terbagi dalam 2 kelompok, yaitu LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait. LMK Hak Cipta mencakup LMK Karya Cipta Indonesia (KCI), LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI), dan LMK Royalti Anugrah Indonesia (RAI), sedangkan LMK Hak Terkait mencakup LMK PAPPRI, LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), dan LMK Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI).
“Hak LMKN atas pembayaran royalti musik ini hanya 5%, sisanya sekitar 25% disalurkan ke manajemen LMK, dan 70% dibayarkan ke pemiliki royalti mulai dari penyanyi, pencipta, produser, serta pemain musik,” tambahnya.