Bisnis.com JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan mendorong distributor farmasi atau perusahaan besar farmasi untuk segera mendaftarkan cara distribusi obat yang baik agar sediaan farmasi lebih terjamin mutunya.
Kepala Pusat Riset Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Arustiyono mengatakan saat ini jumlah pemegang sertifikat cara distribusi obat yang baik (CDOB) hanya sekitar 20% dari sekitar 2.500 distributor.
Targetnya, registrasi CDOB sudah bisa dipenuhi oleh semua distributor obat jenis cold chain product [CCP] pada tahun depan. Disusul distributor bahan baku obat (BBO) pada 2019, sehingga pada 2020 CDOB bisa diterapkan pada semua jenis obat.
“Untuk menjaga mutu obat dari diproduksi sampai ke pasien tetap baik. Selain itu, agar tidak ada produk ilegal yang masuk ke jalur resmi," katanya kepada Bisnis, Rabu (25/1).
Beberapa aspek yang diuji untuk sertifikasi CDOB antara lain personel manajemen, bangunan, peralatan, sistem operasional, dan masih banyak lagi.
Rendahnya minat distributor untuk meregistrasi sertifikat tersebut karena masih diberlakukan secara sukarela. Adapun biaya sertifikasinya sekitar Rp1,5 juta untuk jangka waktu lima tahun.
Namun, sebentar lagi akan ada aturan Kepala BPOM yang memandatori CDOB. Untuk itu, semua distributor harus bersiap.
"Ini belum mandatori jadi kami masih susah kalau minta jumlah CDOB naik. Maka kami tidak menyalahkan siapa-siapa. Untuk mengurus CDOB tidak lama asal persyaratan semua sudah lengkap," ujarnya.
Sementara itu, lain halnya bagi industri farmasi yang telah diwajibkan untuk menerapkan cara pembuatan obat yang baik. Saat ini 99% perusahaan farmasi sudah memenuhi CDOB.
"Ketika kami mengadakan pertemuan di luar hampir di semua negara tahap distribusi mjd masalah, maka kita harus perbaiki ini," katanya.
Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi F. Tirto Kusnadi mengatakan proses produksi obat di pabrikan sampai distribusi merupkan proses yang terintegrasi, sehingga bisa dibilang bergantung dengan distributor.
Menurutnya, harus ada kerja sama antara hulu dan hilir agar produk yang sampai ke pasien bisa terjaga mutu dan kualitasnya.
"Kita berproduksi seperti apapun baiknya kalau cara distribusinya tidak baik juga takut rusak barangnya," katanya.