Bisnis.com, PEKANBARU--Pemerintah baru saja mengeluarkan PP No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang diteken Presiden Joko Widodo pada awal Desember 2016 lalu.
Namun, aturan baru tersebut dinilai sulit diterapkan di Riau karena mayoritas petani lahan gambut di wilayah ini akan kesulitan mengikuti aturan baru tersebut.
Dosen Universitas Riau yang juga Ketua Komda Riau Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) Wawan mengatakan jika dipaksakan PP No57/2016 ini akan mengancam perekonomian Riau karena lebih dari 75% lahan gambut yang tengah digarap di provinsi ini akan terkena dampaknya.
Dari 3,87 hektare lahan gambut yag ditanami sawit dan hutan tanaman industri di Riau, lebih dari 75% akan terkena dampaknya jika kebijakan baru ini tetap diberlakukan.
“Ekonomi Riau sangat tergantung dari sawit dan HTI, kalau ini diterapkan maka lebih dari 3 juta hektare harus berubah fungsui menjadi kawasan lindung dan masyarakat akan kehilangan pekerjaan dan penghasilannya,” ujarnya seusai Focus Group Discussion (FGD) soal gambut di Pekanbaru, Selasa (24/1/2017).
Diskusi dihadiri para pakar ilmu tanah dan gambut dari HGI, Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), akademisi dan praktisi pertanian, perkebunan dan hutan tanaman di Riau .
Pemerintah merevisi PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menjadi PP No 57/2016 dengan nama yang sama. Revisi tersebut memperketat batasan pengelolaan lahan gambut, diantaranya pembatasan muka air tanah sebesar 0,4 meter untuk tanaman yang digarap di lahan gambut. Batasan ini akan menyulitkan para petani sawit dan akasia di Riau dan mayoritas daerah lainnya.
Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan HKTI Didik Hariyanto menilai revisi aturan itu malah mempersulit dan memperketat para petani untuk melakukan budidaya di lahan gambut. Aturan-aturan kontroversial seperti pembatasan muka air 0,4 meter malah diperkuat dalam aturan baru.
“Kelihatannya, sederhana hanya aturan pembatasan muka 0,4 meter. Tetapi ini merupakan ancaman serius karena aturan tersebut tidak bisa diaplikasikan di lapangan. Dampaknya usaha pertanian dan perkebunan masyarakat serta perusahaan sudah pasti mati karena tidak mungkin mengikuti aturan tersebut.”
Menurut Didik, seharusnya pemerintah melindungi kepentingan masyarakat dan dunia usaha dengan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, bisa diaplikasikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kami mengajak petani dan semua pihak termasuk masyarakat perlu melakukan gugatan kelompok atau class action atas putusan pemerintah tersebut,” kata dia.
Peneliti utama Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof. Dr Chairil Anwar Siregar mengemukakan, PP tersebut secara substansial seharusnya mampu menjawab persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya berkelanjutan. “Ini karena sebagian areal gambut berpotensi untuk kegiatan budidaya berkelanjutan, dan hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa pertumbuhan populasi penduduk Indonesia yang terus bertambah memerlukan lahan untuk kebutuhan hidupnya.”
Chairil berpendapat, upaya produksi dan konservasi seharusnya bisa bersinergi untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Semua pihak harus rasional dalam melihat persoalan yang ada. Pemerintah tidak perlu terlalu menonjolkan usaha konservasi secara berlebihan karena kegiatan produksi sama pentingnya dengan kegiatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem gambut secara lestari.