Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan masih belum merampungkan revisi aturan terkait mekanisme pencairan jaminan hari tua untuk peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri hanya menjawab singkat pada saat ditanya perkembangan rencana revisi yang telah digaungkan sejak tahun lalu. "Soal JHT, intinya masih sedang diproses," katanya di kantornya, Jumat (20/1/2017).
Pada Oktober 2016, rapat pleno lembaga kerja sama tripartit yang mencakup perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja telah sepakat agar aturan mekanisme pencairan JHT diubah kembali dengan mensyaratkan kepersertaan minimal lima tahun.
Dalam aturan yang berlaku saat ini, baik Permenaker No. 19/2015 tentang Tata Cara Pengambilan JHT maupun PP No. 60/2015 tentang perubahan atas PP No. 46/2015 tentang Penyelanggaraan Program Jaminan Hari Tua tidak diatur tentang syarat kepersertaan.
Sesuai dengan beleid tersebut, manfaat JHT dapat diberikan apabila peserta mencapai usia pensiun, mengalami catat total tetap atau meninggal dunia, serta bila peserta berhenti bekerja dengan alasan PHK maupun pengunduran diri.
Tidak ada aturan tentang syarat masa kepersertaan bagi peserta yang ingin mengambil manfaat JHT, kecuali ketentuan pengambilan JHT dilakukan satu bulan setelah mengundurkan diri.
Kondisi tersebut dinilai menjadi kelemahan yang sering disalahgunakan oleh peserta yang bersengkongkol dengan perusahaan sedemikian mungkin demi mencairkan JHT kendati masih di usia produktif.
Dengan alasan menjaga stabilitas dana di BPJS Ketenagakerjaan serta meningkatkan jaminan hari tua bagi pekerja, lembaga tripartit mengusulkan revisi dan mengembalikan skema pengambilan JHT menjadi lima tahun satu bulan, seperti pada masa Jamsostek.
BPJS Ketenagakerjaan mencatat dari jumlah klaim total sepanjang 2016 yang mencapai Rp20,06 triliun, klaim terbesar berasal dari program JHT.
Direktur Utama BPJSTK Agus Susanto mengatakan total klaim JHT yang dibayarkan Januari - Desember 2016 sebanyak Rp18,6 triliun dari 2,2 juta kasus. "Ini adalah dampak dari regulasi yang membuka peluang pencairan karena alasan PHK atau resign," kata Agus.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang mengatakan pihaknya masih membahas revisi tersebut secara internal. "Kami telah mendiskusikannya secara internal dan melakukan telaah untuk revisinya," katanya.
Haiyani beralasan lambatnya progres revisi lantaran pihaknya harus berkoordinasi dengan pihak lain yang juga berwenang seperti DJSN. "Permintaan revisi soal masa kepesertaan itu tidak ada di Permenaker tetapi adanya di PP, jadi ini bukan hanya kewenangan Pak Menteri [Hanif Dhakiri]," lanjutnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai Kemenaker bergerak lamban merevisi beleid skema JHT lantaran masih ragu-ragu. "Semua sudah setuju tetapi Ini terhambat karena keragu-raguan dari Menteri. Kami dorong supaya revisi ini benar-benar dilakukan secepatnya," katanya.