Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia menilai volatilitas pergerakan rupiah disebabkan oleh aksi jual valuta asing di pasar akibat pengaruh analis global yang membuat penelaahan mengenai kebijakan proteksionisme di Amerika Serikat setalah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden.
Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara mengatakan kebijakan porteksionisme AS akan membuat ekspor dari negara berkembang ke AS terhambat. Hal itu membuat negara-negara yang memiliki keterkaitan langsung dengan AS dalam kegiatan ekonomi seperti kita mata uang Meksiko mengalami pelemahan 10% dalam sehari ketika Trump terpilih, walaupun kemudian pelemahan itu menurun menjadi 7%.
Hingga saat ini, kebijakan yang proteksionis masih mempengaruhi pasar di negara berkembang seperti Brazil yang mata uangnya mengalami pelemahan 4,9%, Afrika Selatan 4,8%, dan mata uang Meksiko yang akhirnya terdepresiasi 3,5%.
"Pasar Non-Delivarable Forward melemah tanpa melihat fundamental Indonesia, pokoknya melihat currency yang lain melemah maka para trader yang karena lihat melemah sehingga pagi di buka Rp13.400 kareba semalam mengikuti apa yang terjadi di Meksiko, Brazil, dan lain-lain," ucapnya, di Jakarta, Jumat (11/11/2016).
Saat kurs rupiah hingga Jumat (11/11/2016) siang sudah mencapai level psikologis Rp13.700 per dolar AS, bank sentral telah melakukan stabilisasi di dua pasar sekaligus yaitu valas dan Surat Berharga Negara (SBN). BI telah mengumumkan ke peserta pasar bahwa otoritas moneter itu siap membeli SBN dan melakukan lelang.Â
Mirza menyatakan setelah pasar melihat BI hadir di pasar valas dan SBN, rupiah bisa kembali ke level kisaran Rp13.500 per dolar AS. Dia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membatasi pasar valas di pasar uang antarbank sehingga pasar bisa berjalan seimbang baik dari sisa suplai dan permintaan.Â
"Dan para eksportir juga sudah mulai masuk untuk suplai valas itu yang membuat kurs kembali stabil," ucapnya.