Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

JK : Porsi Utang Jumbo Hambat Akselerasi Pembangunan

Alokasi pembayaran utang yang membengkak melebihi 20% dari total anggaran penerimaan dan belanja negara dinilai menjadi penghambat upaya akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla. /Bisnis.com
Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA—Alokasi pembayaran utang yang membengkak melebihi 20% dari total anggaran penerimaan dan belanja negara dinilai menjadi penghambat upaya akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
 
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan, pemerintah harus menyisihkan dana sekitar Rp500 triliun atau 20% lebih dari total anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2017 hanya untuk mengangsur utang beserta bunganya.  
 
“Akibatnya APBN tak mampu untuk mendorong ekonomi dari sektor pembangunan untuk lebih terakselerasi,”ujarnya dalam Seminar bertajuk ‘Mencari Penggerak Baru Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2017’ di Jakarta, Kamis(27/10/2016).
 
Pernyataan itu disampaikan dalam konteks membandingkan kemajuan ekonomi antara Indonesia dan negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. Menurut dia, ada tiga kebijakan pokok yang menjadi penghalang kemajuan Indonesia.
 
Pertama, kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998. Bantuan yang diberikan bank sentral kepada bank yang mengalami masalah likuiditas itu menimbulkan ongkos krisis yang bombastis mencapai Rp600 triliun. Bahkan, jika dihitung dengan bunga secara akumulasi, nilainya membengkak hingga hampir Rp3.000 triliun sampai saat ini.
 
“Kesalahannya hanya satu, mempercayai, menggaransi semua yang salah. Akhirnya semua melakukan penggelembungan dan perampokan dari kebijakan yang dibuat,”tegasnya.
 
Kedua, penggunaan sumber daya alam yang boros diikuti dengan alokasi subsidi energi yang terlalu royal. Dalam 10 tahun terakhir, subsidi bahan bakar minyak (BBM) bahkan mencapai angka Rp1.500 triliun.
 
Kebijakan terakhir, pengelolaan birokrasi yang tak efisien, terlebih sejak pergantian sstem pemerintahan dari sentralistik ke otonomi daerah.  
 
“Ongkos birokrasi hari ini tujuh kali lipat dibanding 10 tahun lalu. Sekarang biaya pegawai mencapai Rp720 triliun, padahal pada 2010 hanya Rp70 triliun,”katanya.
 
Akibat kekeliruan kebijakan tersebut, maka terjadi pergeseran pola belanja negara. pada Era Orde Baru, 50% belanja diarahkan untuk program pembangunan, sementara saat ini total porsi belanja modal dan belanja barang tak lebih dari 20% dari total belanja. Padahal, keduanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efek berlapis.
 
Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan koreksi dan pembenahan demi memajukan perekonomian. Dia menegaskan, skema BLBI tak akan terulang. Jika ada bank yang mengalami kebangkruta, maka pemegang saham yang harus bertanggung jawab sepenuhnya, tanpa intervensi bank sentral atau pemerintah.
 
Sementara itu, pemerintah terus menyusutkan porsi subsidi energi dalam anggaran belanja. Subsidi listrik misalnya, dari semula Rp100 triliun, kini hanya Rp40 triliun. Terkait biaya pegawai, pemerintah berencana melakukan penurunan jumlah pegawai negeri sipil (PNS) secara alamiah dan bertahap dalam kurun waktu 5 tahun.
 
Dia mengaku, ruang fiskal yang tersedia sangat sempit untuk menopang pembangunan. Maka itu, solusi paling efektif ialah mendorong investasi dari sektor swasta serta meningkatkan konsumsi masyarakat.
 
Tak hanya itu, solusi juga bisa berasal dari penghematan. Para kepala daerah diperintahkan untuk mengurangi biaya internal birokrasi dan lebih memprioritaskan subsidi untuk masyarakat, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan sosial.
 
“Di satu sisi subsidi masyarakat memang mengurangi anggaran untuk pembangunan, tapi juga menjadi bagian menutup gap dan menjaga keadilan,”tuturnya.
 
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total belanja negara pada APBN 2017 tercatat mencapai Rp2.080,5 triliun. Jumlah itu terdiri dari, belanja pemerintah pusat Rp1.315,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp764,9 triliun.
 
Di sisi lain, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.750,3 triliun, terdiri dari penerimaan dalam negeri Rp1.748,9 triliun dan penerimaan hibah Rp1,37 triliun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lavinda
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper