Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan induk Google Indonesia, Google Singapura, ternyata menolak diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak menyusul temuan perusahaan itu tak mendaftarkan diri sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) tetapi memperoleh pendapatan di Indonesia.
Dengan begitu, Ditjen Pajak melihat ada indikasi pidana dan segera menginvestigasi perusahaan tersebut.
Kepala Kantor Wilayah DKI Jakarta Khusus Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Muhammad Hanif mengatakan sebetulnya telah dilakukan beberapa kali pembicaraan dengan Google Singapura.
“Google Singapura pernah datang. Mereka bahkan sampai menanyakan harapannya (pajak) berapa miliar,” ujarnya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Kamis (15/9/2016).
Sayangnya, pada Agustus 2016 sikap perusahaan tersebut malah bertolak belakang dengan sebelumnya. “Sebulan lalu mereka malah melakukan pemulangan surat perintah pemeriksaan dan menolak diperiksa," kata Hanif.
Dengan pengembalian surat perintah pemeriksaan tersebut, Ditjen Pajak akan meningkatkan proses pemeriksaan Google Singapura menjadi pemeriksaan bukti permulaan.
"Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi," ujar Hanif.
Hanif menilai permasalahan utama dalam kasus ini adalah penetapan BUT. Secara faktual, kata dia, Google Indonesia memang bukan BUT melainkan kantor perwakilan.
Namun, menurut Hanif, prinsip penerapan pajak adalah keadilan. "Mereka tidak fair. Revenuegede sekali tapi pajaknya kecil sekali, sangat jauh dari kewajaran. Karena itu, Google harus membayar pajak," katanya.
Jika Google Indonesia menjadi BUT, menurut Hanif, Google wajib menyetorkan pajak kepada Ditjen Pajak yang salah satunya berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri yang memakai jasa mereka. "Pemajakan atas penghasilan perusahaan asing memang harus melalui BUT," ujar Hanif.
Sejak April 2016, Direktorat Jenderal Pajak memeriksa data pajak perusahaan-perusahaan teknologi global yang beroperasi di Indonesia, salah satunya Google Indonesia.
Mereka diperiksa menyusul adanya bukti bahwa Google tidak mendaftarkan diri sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) tetapi memperoleh pendapatan di Indonesia.
Dalam konferensi persnya April lalu, Hanif memperkirakan besar pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan seperti Google bisa mencapai Rp2,4 triliun. Ditjen Pajak pun juga akan memeriksa data 3.500 kantor perwakilan perusahaan teknologi lainnya di Indonesia.