Bisnis.com, JAKARTA—Lambatnya kenaikan peringkat Indonesia di kancah Ease of Doing Business masih disebabkan masalah klasik yang mendasar berupa ketidakdisiplinan para pengurus utama komite terkait dalam rapat-rapat perumusan dan pelaksanaan strategi perubahan.
Sekertaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Chris Kanter mengatakan pada 2016, Indonesia baru menempati level 109 dalam Ease of Doing Business (EODB). Meski naik 11 level dari tahun lalu, tapi posisi itu masih berada jauh di bawah Malaysia di rangking 18, Thailand di 48, bahkan Vietnam di 90.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melalukan banyak perubahan. Misalnya, sudah ada 13 paket kebijakan yang menjadi bukti pemerintah menyadari pentingnya kemudahan dan insentif bisnis bagi dunia usaha.
Selain itu, kemudahan proses perizinan dan pemberantasan korupsi untuk meningkatkan kredibilitas pun telah digelar pemerintah. Tak sedikit juga, lanjut Chris, komite-komite yang dibawahi langsung Presiden Joko Widodo untuk merumuskan strategi menuju peningkatkan level Indonesia di EODB.
Sayangnya, dari berbagai aksi tersebut, nilai Chris, masih minim instrumen pengikat. Dampaknya, tak ada kedisplinan mulai dari perumusan hingga implementasi kebijakan.
“Misalnya dari rapat koordinasi saja. Meski diketuai Presiden dan di bawah Menko [Menteri Koordinator Bidang Perekonomian], tapi kehadiran keduanya dalam rapat tersebut lebih banyak diwakilkan dan diganti-ganti orangnya. Akibatnya, tujuannya cenderung mandeg karena orang yang bersangkutan tak paham yang dia wakilkan,” ujar Chris dalam Diskusi Upaya Peningkatan Posisi Indonesia dalam Rangking Ease of Doing Business di Gedung Kementerian Perdagangan, Kamis (8/9).
Chris menuturkan pemerintah pusat bisa mencontoh pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta. Menurutnya, pemprov DKI Jakarta memberi sanksi jelas jika target pelayanan maksimal tak tercapai. Bentuknya bahkan hingga melakukan pemotongan gaji.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga mewajibkan tiap pejabat terkait untuk menghadiri rapat-rapat koordinasi tanpa diwakilkan. “Kalau Presiden maunya ke posisi 40 sebelum 2019 bisa, tapi ya pejabat bersangkutan tidak boleh diwakilkan dalam rapat. Itu yang dilakukan pemprov DKI Jakarta.”
Menurut Chris, target pemerintah melakukan loncatan sebesar 69 level sebelum 2019 di EODB bukan hal mustahil. Sebab, Georgia telah membuktikan mampu melakukan loncatan posisi di EODB dari 108 menjadi 8 hanya dalam waktu lima tahun.
Percepatan menuju posisi 40 juga diprediksi akan kian cepat tercapai jika pemerintah memiliki data lengkap implementasi paket kebijakan. Dengan begitu, investor mengetahui kredibilitas dan komitmen Indonesia yang akan menjadi landasan dalam melakukan investasi.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dody Edward mengatakan pihaknya telah melakukan inovasi terutama di bidang trading across border untuk mengerek posisi Indonesia di EODB. Di antaranya, Kemendag telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor untuk mengurangi dwelling time.
Kementerian ini juga telah melakukan beberapa deregulasi dan debirokratisasi perizinan. Aksi lain yakni memberlakukan penerbitan perizinan dengan tandatangan elektronik untuk 7 jenis perizinan ekspor-impor. Dari 88 perizinan ekspor-impor, Dody menyebut saat ini telah ada 64 izin yang bisa diajukan secara online.
Ke depannya, bakal ada dua strategi utama Kemendag untuk mempermudah gelaran bisnis di Indonesia. “Kami akan menerapkan single risk management dalam program INSW [Indonesia National Single Window] dan berkomitmen dalam Agreement in Trade Facillitation WTO pada kategori A,” jelas Dody.
Kepala BPTSP Provinsi DKI Jakarta Edy Junaedi mengatakan dalam mencapai target, instansi ini menerapkan skema sanksi pemotongan gaji serta kontrol ketat atas implementasi pelayanan perizinan. Akibatnya, presentase delay perizinan hanya sebesar 1,5%, zero komplain, dan 100% pelayanan maksimal.
“Begitu tak tercapai, ada pemotongan gaji. Ada sanksi. Tapi kalau berhasil mempertahankan pelayanan maksimal, kami akan promosikan ke posisi yang lebih tinggi,” ujar Edy.
Mantan Menteri Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan Georgia Vera Kobalia mengatakan negaranya pernah dinobatkan sebagai negara dengan korupsi tertinggi pada era 1990-an. Namun, saat ini negara itu masuk dalam level ke-8 di EODB.
Gebrakan terbesar, lanjutnya, yakni adanya political will yang besar dari pemimpin negara. Selain itu, negara ini juga meningkatkan gaji pegawai negerinya agar pelayanan publik meningkat. Georgia juga disebutkan menggandeng swasta dalam menggelar perubahan.
“Untuk meningkatkan gaji pegawai, kami minta dari donor. Kemudian kerja sama dengan swasta juga dilakukan untuk menghemat anggaran karena fiskal kami ketat,” jelas Kobalia.