Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penghitungan Harga Gas Industri Pakai Formula JCC Dianggap Lebih Pas

Pemerintah tengah mengkaji untuk menerapkan harga gas di sektor hilir bisa memperhitungkan formula Japan Crude Cocktail yang dinilai lebih cocok di tengah penurunan harga minyak di pasar global.
Jaringan pipa gas/Ilustrasi-Antara
Jaringan pipa gas/Ilustrasi-Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mengkaji untuk menerapkan harga gas di sektor hilir bisa memperhitungkan formula Japan Crude Cocktail yang dinilai lebih cocok di tengah penurunan harga minyak di pasar global.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memang telah dibahas soal harga gas tersebut, tetapi belum selesai.

Saat ini, lanjutnya, sedang dikaji agar harga gas di hilir bisa bersaing dan kompetitif. Meskipun, penyelesaian ini terkesan lambat, tetapi Airlangga menilai bahwa pemerintah ingin menyelesaikan persoalan ini secara tuntas dan tidak setengah-setengah.

Dia menilai harga gas di hilir ada persoalan terkait formula penghitungan, khususnya di bagian distribusi gas sebagian besar masih menggunakan formula indeks inflasi.

Selain itu, Airlangga juga mengungkapkan bahwa industri sebagai konsumen gas tidak secara langsung berkontrak dengan pelaku usaha hulu migas (kontraktor kontrak kerja sama/KKKS), melainkan berkontrak dengan intermediate alias ke pelaku usaha distribusi.

"Nah kontrak distribusi ini hampir semua tidak terkait dengan JCC, semuanya berdasarkan formula dan indeks inflasi, jadi mismatchnya ada disana yang kita sedang dalami," ujarnya di Kompleks Istana Negara, Selasa (23/8/2016).

Padahal, di kancah global, khususnya importir gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) produk Indonesia, dihitung menggunakan Japan Crude Cocktail (JCC). Formula ini, lanjutnya, memperhitungkan harga minyak untuk menentukan harga gas.

"Ini sedang dibahas dengan kemenko, jadi opsinya sedang dikaji. Dan sebetulnya harga gas itu, kalau pakai JCC, harga itu bisa dicapai. Karena formula JCC itu kan mengkaitkan harga dengan harga minyak," katanya.

Alhasil, dengan rendahnya harga minyak di pasar global seperti saat ini maka harga gas bisa ikut turun, karena ada komponen harga minyak dalam penentuan harga tersebut.

Adapun, dalam rapat koordinasi yang digelar beberapa waktu lalu, pemerintah mengusulkan empat industri tambahan yaitu industri pulp dan kertas, industri makanan dan minuman, industri tekstil dan alas kaki, serta industri farmasi untuk mendapatkan pemotongan harga gas.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Beleid tersebut memberikan rekomendasi pemotongan harga gas bagi tujuh sektor industri yaitu industri baja, industri keramik, industri kaca, industri petrokimia, industri pupuk, industri oleokimia, dan industri sarung karet tangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai harga gas industri di Indonesia saat ini masih mahal. Hal ini membuat industri pengguna gas dalam negeri memiliki daya saing rendah di pasar internasional.

Menurut data SKK Migas, harga gas di Jawa Timur sekitar US$8,01-8,05 per juta British Thermal Units (million metric british thermal unit/MMBtu), Jawa bagian Barat di kisaran US$9,14 hingga US$9,18 per MMBtu sedangkan harga untuk wilayah Sumatera bisa mencapai US$13,90 hingga US$13,94 per MMBtu.

Dibandingkan dengan harga gas di negara-negara lain, harga gas di Indonesia tiga kali lipat lebih mahal. Beberapa negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China, patokan harga gas hanya sekitar US$4 hingga US$4,55 per MMBtu. Di Sumatra Utara, harga gasnya US$13,9 per MMBtu. "Tidak masuk akal itu," tuturnya.

Di sisi lain, formula harga LNG impor di Jepang (Japan Liquefied Natural Gas Import Price/JLNGIP) memang menggunakan basis rata-rata harga minyak mentah yang sering disebut Japan Crude Cocktail (JCC) dengan koefisien dan faktor yang spesifik lainnya.

Adapun, berdasarkan data Bank Dunia soal indeks harga energi, JLNGIP untuk bulan Juli tahun ini dipatok US$6 per MMBtu. Harga tersebut anjlok 32,36% dari posisi Juli 2015 yang dibanderol pada level US$8,87 MMBtu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lukas Hendra TM

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper