Kabar24.com, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melihat penaikan cukai rokok tak akan menjamin konsumsi rokok bisa ditekan. Mereka melihat, jika hal itu terjadi, tentu saja konsumsi rumah tangga bakal meroket.
Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Siregar memaparkan, jika permintaan sangat elastis, diperkirakan pengenaan cukai akan mengurangi penerimaan negara tapi berhasil menurunkan laju konsumsi rokok. Namun jika sebaliknya, penerimaan meningkat, konsumsi tak berkurang dan tekanan ekonomi rumah tangga akan meningkat.
"Kami melihat perhitungan tak cermat cukai tembakau mencapai Rp139,5 triliun di tahun 2015. Belum diketahui apakah kenaikan cukai tembakau ini akan efektif," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Senin (22/8/2016).
Dia menjelaskan, selain perhitungan yang brlum cermat, pngawasan yang buruk membuat dana bagi hasil cukai tembakau bekum terserap secara optimal di daerah penghasil tembakau.
Dari laporan Asosiasi Petani Tembakau, kata dia, masih ada daerah yang menggunakan dana bagi hasil untuk membeli kendaraan dinas. Selain itu pengunaan dana dinilai kurang memberikan manfaat secara langsung karena nilainya hanya 2%.
"Pemerintah pusat bahkan baru menerbitkan pedoman pengawasan dana bagi hasil cukai tembakau pada 2016. Akibat pembinaan yang buruk, tembakau lokal harganya kalah bersaing dengan tembakau impor," jelasnya.
Dia juga menilai, pemanfaatan dana hasil cukai tembaku juga tak digunakan untuk menggarap proyek strategis. Menurutnya, jika pemerintah berniat mengubah secara bertahap produksi tembakau ke komoditas pangan lain, seharusnya dana ratusan triliun yang diperoleh dari cukai tembakau dimanfaatkan untuk membiayai penelitian dan pengembangan benih pangan yang unggul dan berproduktifitas tinggi.
Kebijakan itu justru membiarkan petani menjadi sasaran empuk korporasi asing yang menguasai pasar benih transgenik. Beberapa petani polos yg berhasil memuliakan ulang benih tersebut malah berurusan dengan penegak hukum karena melanggar hak cipta. Selain untuk pengembangan benih seharusnya cukai rokok ratusan triliun juga digunakan untuk meningkatkan infrastruktur di sektor pertanian alih komoditi dari tembakau.
Dia justru menengarai, penaikan cukai rokok itu akan semakin menciptakan kemiskinan sexara struktural. Meski Kementerian Kesehatan menyatakan 70% kepala keluarga miskin adalah perokok, menaikkan cukai sehingga harga rokok mencapai Rp50.000 belum tentu akan mengurangi beban ekonomi dan mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan.
Kemiskinan, kata dia, sebagian besar lebih disebabkan oleh salah urus negara. Kemiskinan kerap disebabkan oleh kebijakan yang tidak ramah sosial, termasuk pelayanan publik yang buruk dan diskriminatif. Jika mereka tak merokok paling banyak hanya menghemat Rp450.000 per bulan, jauh lebih kecil dari biaya trasport hilir mudik para penyelenggara negara untuk acara-acara tak jelas.
Hanya saja, Alamsyah mengakui secara politik mungkin saja menaikkan harga rokok hingga Rp50.000 akan meningkatkan popularitas. Tapi melakukannya tanpa skema mitigasi yang jelas akan mematikan hajat hidup orang banyak. Karena itu, dia meminta supaya pemerintah berhenti memanipulasi dan mengorbankan kepentingan rakyat demi popularitas.