Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menolak mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) sejumlah asosiasi peternakan unggas skala kecil-menengah yang meminta aturan soal investasi peternakan unggas dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) untuk direvisi.
Ada dua pasal yang diajukan oleh tim pemohon yang diketuai Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2). Kedua pasal ini dinilai membuka peluang penguasaan pasar bagi investor asing bermodal besar sehingga berpotensi mematikan peternakan unggas rakyat.
Adapun, PPUI menggugat UU nomor 18 tahun 2009 karena UU tersebut dinilai untuk pertama kalinya membuka investasi perunggasan bagi asing. Saat ini, UU PKH terbaru adalah UU nomor 41/2014 yang hanya memuat aturan yang direvisi sehingga UU 18/2009 tetap digunakan dan menjadi acuan.
PPUI menilai sejak UU 18/2009 tersebut lahir, para pemodal asing di bisnis perunggasan kian menggurita. Menurut data yang dimiliki PPUI, pada 2009, jumlah peternak ayam mandiri masih 80.000 orang, namun sekarang jumlahnya tidak lebih dari 5.000 orang.
Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, diungkapkan bahwa MK menilai fakta yang terjadi di lapangan tersebut bukan merupakan kesalahan pasal, namun hasil dari lemahnya pengawasan atau implementasi pasal atau norma.
“Pemohon menyebut kalimat dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut memberikan peluang integrasi [peternakan] secara vertikal. Dalam kalimat pasal tersebut, tidak memberikan peluang untuk ditafsirkan sebagai integrasi vertikal,” ujar Arief.
Pasal 2 ayat (1) UU 18/2009 menyebut Peternakan dan kesehatan hewan diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.
PPUI beranggapan pasal tersebut membuka peluang bagi perusahaan untuk membangun peternakan unggas terintegrasi dari hulu-hilir. Akibatnya, saat ini perusahaan-perusahaan besar terindikasi melakukan praktik monopoli dan cenderung menguasai pembentukan harga atau kartel.
Sedangkan Pasal 30 ayat (2) menyebut Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Hakim mengatakan untuk menghindari terjadi hal yang dikhawatirkan oleh para peternak, maka yang seharusnya dilakukan adalah pemerintah wajib mengawasi usaha budidaya peternakan dan melindungi para peternak.
“Kekhawatiran itu bisa terjadi karena pemerintah tidak maksimal dalam melaksanakan peran dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU tersebut,” ungkap Arief. Soal investasi asing, Hakim menyebut peternak sebaiknya justru menggugat UU Penanaman Modal.
Sementara itu, Ketua Umum PPUI, Waryo Sahru menyampaikan pihaknya mengajukan revisi UU 18/2009 justru karena investasi peternakan dibuka bagi asing dengan merujuk pada UU tersebut. UU Peternakan dan Keswan sebelumnya yaitu nomor 6 tahun 1967, menutup investasi unggas bagi pemodal asing.
“UU yang dulu itu orientasinya keadilan berusaha, kecukupan protein, dan ekspor. Kalau yang sekarang, hanya ketahanan pangan. Selama 42 tahun UU 6/1967 ada, peternak bisa hidup. Sekarang jumlah peternak mandiri hanya 5% dari total peternak yang ada,” ujar Waryo pada Bisnis.
Peternak mandiri saat ini berebut pasar dengan peternak mitra perusahaan besar dan perusahaan besar itu sendiri yang juga memasok ayam potong ke pasar. Karena diproduksi jauh lebih efisien, harga ayam potong yang diproduksi perusahaan bisa ditekan.
Sementara itu, peternak mandiri harus menjual ayamnya mengikuti harga ayam yang dijual perusahaan. Hal ini berakibat peternak mandiri mengalami kerugian karena mereka harus menjual ayam potong dibawah biaya pokok produksi