Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Blok Masela Diprediksi Onstream 2026

Blok Masela yang dioperatori Inpex Masela Limited diprediksi baru memproduksi gas pertamanya atau onstream pada 2026 atau dua tahun sebelum masa kontraknya berakhir yakni 2028.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--Blok Masela yang dioperatori Inpex Masela Limited diprediksi baru memproduksi gas pertamanya atau onstream pada 2026 atau dua tahun sebelum masa kontraknya berakhir yakni 2028.

Deputi bidang Pengendalian Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Muliawan, mengatakan hingga saat ini pihaknya masih melakukan pembahasan dengan Inpex terkait kondisi apa saja yang memungkinkan proyek berjalan sesuai skala keekonomian. Pihaknya memperkirakan Blok Masela onstream pada 2026 setelah skema pembangunan kilang diubah dari kilang gas alam cair terapung (floating liquefied natural gas/FLNG) menjadi kilang gas alam cair darat (onshore liquefied natural gas/OLNG).

"Masela diperkirakan masih [onstream] 2026. [Sekarang] masih dibahas dengan internal Inpex," ujarnya dalam acara Kongres Teknologi Nasional di Jakarta, Senin (25/7).
Lebih lanjut, perkiraan tersebut merujuk pada masih banyaknya pembahasan yang harus dilakukan. Skenario penerapan insentif, katanya, menjadi salah satu poin pembahasan. Adapun, Inpex mengusulkan sejumlah insentif seperti investment credit, tax holiday hingga perpanjangan masa kontrak hingga 30 tahun.

Dari segi keteknisan kapasitas produksi, ujar Muliawan, Inpex mengusulkan penambahan kapasitas produksi dari 7,5 mtpa menjadi 9,5 mtpa. Pertimbangan utama terkait penambahan kapasitas produksi adalah kemampuan reservoir Lapangan Abadi. Pihaknya pun mempertanyakan apakah penambahan kapasitas produksi merujuk pada percepatan masa pengelolaan. Kendati demikian, dia menyebut bila dilihat dari cadangannya, terjamin. Pihaknya mengkhawatirkan kemampuan reservoir dengan penambahan kapasitas tersebut.

"Kan kemampuan reservoir. Terus apakah proyek itu mau dimampatin biar cepat selesai?"

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pertamina (persero) Dwi Soetjipto mengaku belum menghasilkan apapun terkait pinangan Pertamina untuk membeli 20% saham partisipasi di Blok Masela. Saat ini, komposisi saham partisipasi Blok Masela dikuasai 65% Inpex dan 35% oleh Shell. Adapun, pada 14 Juli 2016, Inpex mendatangi Kantor Pusat Pertamina guna menemuinya. Pada pertemuan tersebut, dibahas lebih lanjut terkait kemungkinan Pertamina turut terlibat dalam pengelolaan Blok Masela. Meskipun, sebelumnya, kedua tawaran Pertamina belum mendapat respons yang membawa pembicaraan tersebut bergerak ke arah penjualan saham partisipasi. "Belum, belum," katanya.

Juru Bicara Inpex Usman Slamet mengatakan pengubahan skema pembangunan kilang pun lantas mengubah kajian pasar gas Masela. Peruntukkan gas Masela untuk kebutuhan dalam negeri lebih tepat menggunakan liquefied natural gas (LNG) daripada mengubahnya menjadi methanol, urea, amoniak untuk industri pupuk apalagi paraffin dan olefin untuk kebutuhan dasar industri petrokimia. Selain karena LNG memiliki harga yang lebih kompetitif dan mudah didistribusikan ke daerah yang membutuhkan pasokan gas, produk derivatif gas Masela tersebut sedang dalam kondisi kelebihan pasokan di dalam negeri.

Dia menyebut karakter gas yang dihasilkan Masela merupakan jenis lean gas atau jenis gas yang mengandung lebih sedikit hidrokarbon. Sebagai dampaknya, pemanfaatan gas lebih terbatas karena hanya bisa diturunkan menjadi produk methanol, urea dan amoniak dari jenis gas C1, C2 dan C3 melalui pembangunan pabrik pupuk. Sementara, produk seperti pengembangan produk lain seperti olefin tak bisa diproduksi.

Di sisi lain, menurutnya, untuk menambah efek gulir ke masyarakat, akan lebih optimum bila LNG digunakan sebagai energi dasar pembangkit listrik juga diolah untuk membangun cold storage guna mengembangkan sektor perikanan di masyarakat setempat. Dengan demikian, melalui skenario tersebut, dia menilai dampak positif proyek tetap bisa dirasakan meskipun pabrik pupuk tak terbangun.

"Gas Masela tidak mungkin digunakan untuk industri petrokimia, sedangkan produk methanol, urea, dan amoniak dalam kondisi berlebih di dalam negeri."

Berdasarkan studi laboratorium, karakteristik gas di Blok Masela sangat berbeda dengan gas di wilayah lain, seperti gas Blok Tangguh, Senoro, dan Bontang. Gas Masela berkarakter lean atau minyak miskin yang hanya bisa diubah menjadi urea dan amoniak, tidak bisa untuk paraffin dan olefin. Karena itu, gas Masela tidak mungkin digunakan untuk industri petrokimia, sedangkan produk methanol, urea, dan amoniak dalam kondisi berlebih di dalam negeri.

Seperti diketahui data BPS 2015 menunjukkan bahwa Indonesia saat ini berada dalam kondisi net eksportir bahan baku methanol, ammonia, dan urea. Ekspor methanol mencapai 0,2 mtpa atau mengalami nilai surplus perdagangan sebesar US$9 juta, ekspor ammonia mencapai 0,99 mtpa atau surplus sebesar US$412 juta, dan urea mencapai 0,72 mtpa atau surplus sebesar US$201 juta.

Sementara itu, Kementerian ESDM mencatat ekspor LNG pada 2014 sekitar 3,3 billion british thermal unit per day (BBUTD) dan pada 2015 sekitar 3,063 BBUTD. Jika dibandingkan dengan harga rata-rata selama lima tahun terakhir, penjualan LNG di kisaran harga US$710 per ton, dibandingkan methanol sekitar US$391 per ton, ammonia US$458 per ton, dan urea US$341 per ton. Sebagai tahap awal, pihaknya menyusun syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan (terms and conditions) yang baru dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti masa kontrak yang diperpanjang lebih dari 20 tahun, rasio pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) yang sama dengan skema pengembangan FLNG, pemberian insentif fiskal berupa investment credit, tax holiday juga penambahan kapasitas kilang.

Seperti diketahui, pengajuan revisi PoD 1 telah dilakukan Inpex Corporation dan Shell Indonesia sejak September 2015. Inpex sendiri telah mengajukan PoD dengan cadangan terbukti sebesar 6,05 triliun kaki kubik (tcf) dan kapasitas FLNG 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun. Sedangkan, produksi gas hanya 400 MMscfd, dan kondensat 8.100 barel per hari (bph).

Namun, Inpex merevisi proposal karena terdapat kemungkinan cadangan yang lebih besar yaitu sebesar 10,73 tcf. Hal itu menyebabkan kapasitas FLNG meningkat menjadi 7,5 juta ton per tahun dengan IRR 15% dan membutuhkan investasi sebesar US$14,8 miliar. Produksi gas juga naik menjadi 1.200 MMscfd dan kondensat 24.460 bph. Proposal tersebut ditolak dan ditetapkan agar dilakukan pembangunan kilang darat.

"Kami perlu mengembalikan keekonomian, ada beberapa kondisi untuk mengembalikan keekonomian proyek IRR-nya paling tidak sesuai dengan skema sebelumnya, kapasitas produksi dinaikkan, perpanjangan masa kontrak lebih dari 20 tahun, tax holiday dan insentif fiskal lain seperti investment credit," ujarnya di Jakarta, Rabu (13/7).

Faktor tersebut, katanya, diperlukan untuk menjaga proyek bisa berlanjut. Pengubahan skema pengembangan, ujar Usman, berpengaruh terhadap penambahan belanja modal (capital expenditure/capex) perusahaan yang lebih besar dan masa pengerjaan proyek yang mundur. Diperkirakan, lapangan baru memproduksi gas pertamanya pada 2026 atau dua tahun sebelum masa kontraknya berakhir pada 2028. Dengan demikian, diharapkan kesepakatan bisa segera tercapai. Penambahan kapasitas dan masa kontrak dilakukan untuk menyiasati pemanfaatan yang minim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper