Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah maskapai penerbangan memprediksi margin bersih yang diraup pada tahun ini cenderung stagnan, atau sama seperti tahun lalu, meski harga bahan bakar pesawat terbilang cukup rendah.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) M. Arif Wibowo mengatakan sepanjang paruh pertama tahun ini, kinerja bisnis maskapai cukup berat. Pasalnya, harga bahan bakar pesawat atau avtur mulai merangkak naik.
“Tahun lalu, margin bersih Garuda itu sekitar 2,5%. Kalau tahun ini, kemungkinan margin bersih sekitar 2%-3%. Makanya, kami banyak program efisiensi, peningkatan pendapatan dan lain sebagainya,” katanya, Kamis (23/6/2016).
Arif menuturkan GIAA sudah mengambil kebijakan untuk melakukan hedging atau lindung nilai terhadap sekitar 1 juta barel beberapa waktu yang lalu, seiring dengan harga avtur yang mulai merangkak.
Dia menambahkan GIAA akan melakukan hedging lebih banyak ke depannya, apabila harga avtur menembus level US$47,7 sen/liter. Adapun, harga avtur Pertamina (tidak termasuk pajak) di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng saat ini mencapai US$43,8 sen/liter.
“Pada paruh pertama ini memang kondisinya cukup berat bagi maskapai, apalagi saat ini imbal hasil [dari penjualan tiket penumpang] juga turun, karena persaingan yang cukup tinggi. Jadi saya bilang saat ini berat bagi maskapai,” tuturnya.
Arif juga berharap Kementerian Perhubungan selaku regulator dapat membantu maskapai dengan cara menaikkan kembali tarif batas atas dan tarif batas bawah. Dengan demikian, maskapai lebih fleksibel dalam mengatur harga tiket.
Senada, Senior Manager Corporate Communications Sriwijaya Air Group Agus Soedjono menilai harga avtur yang rendah tidak serta merta membuat margin bersih maskapai menjadi merangkak naik.
“Tidak serta merta seperti itu, harus dilihat secara komprehensif. Kalau kita bicara masalah margin, enggak bisa salah satu variabel turun, terus menyebabkan variabel lainnya otomatis naik, yah enggak seperti itu,” ujarnya.
Agus menilai margin bersih juga didorong dari seberapa besar permintaan pasar akan jasa angkutan udara. Menurutnya, pangsa pasar pada semester pertama tahun ini tidak jauh berbeda ketimbang periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, Direktur Utama Citilink Indonesia Albert Burhan mengatakan rendahnya harga avtur selama ini tidak berdampak banyak terhadap kinerja Citilink. Pasalnya, harga avtur yang rendah membuat harga tiket juga ikut rendah.
“Citilink itu fleksibel dengan tarif tiket karena memang kompetisi di LCC [low cost carriers] itu sangat tinggi. Jadi, belum tentu margin bersih Citilink itu akan meningkat, meski harga avtur saat ini cukup rendah,” katanya.
Seperti diketahui, International Air Transport Association (IATA) memprediksi nilai laba yang diraup maskapai di Asia Pasifik pada tahun ini sebesar US$7,8 miliar, naik 8% dari prediksi semula sebesar US$7,2 miliar.
Direktur Umum & CEO International Air Transport Association (IATA) Tony Tyler mengatakan kinerja maskapai di Asia Pasifik sangat beragam. Namun, rata-rata keuntungan maskapai diprediksi sebesar US$5,94/penumpang.
“Dengan biaya bahan bakar yang turun dan mulai stabilnya pasar kargo, kami memprediksi margin bersih di Asia Pasifik mencapai 3,9% dan total keuntungan bersih mencapai US$7,8 miliar,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Tony, IATA juga memprediksi pertumbuhan permintaan jasa angkutan udara di Asia Pasifik pada tahun ini tumbuh 8,5%. Sementara kapasitas angkutan udara diprediksi tumbuh 9,1%.