Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta mendorong penyerapan produksi karet alam nasional untuk proyek-proyek infrastruktur dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan dari produksi karet nasional sebesar 3,1 juta-3,2 juta ton selama beberapa tahun terakhir, sekitar 600.000 ton di antaranya diserap oleh pasar domestik.
Penyerap utama adalah industri ban dalam negeri dan sisanya pabrik olahan hilir karet sektor non-ban.
Dia mengharapkan ke depannya produksi karet alam dalam negeri dapat diserap oleh sektor infrastruktur, misalnya sebagai salah satu komponen pembangunan jalan.
“Belum ada untuk proyek infrastruktur selama ini. Maka sektor serapan hilir inilah yang ingin diciptakan,” tukas Moenardji kepada Bisnis lewat pesan singkat, Selasa (10/5/2016).
Jika karet alam mulai digunakan untuk proyek infrastruktur, Gapkindo meyakini hal itu dapat menambah efek perbaikan harga.
Menurutnya, sekarang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah melakukan koordinasi dan menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum penggunaan karet alam sebagai komponen dalam proyek infrastruktur.
Berdasarkan data Bloomberg, hari ini harga karet bertahan di kisaran US$1,67 per kilogram.
Angka tersebut tidak jauh berbeda dari posisi Maret 2016 yang sekitar US$1,65 per kilogram dan April 2016 yang sebesar US$1,76 per kilogram.
Harga tersebut juga sekitar 20% di atas posisi Januari 2016 ketika karet tertekan ke kisaran US$1,3 per kilogram.
Harga karet sudah menunjukkan penguatan sejak akhir Februari 2016 sebelum diberlakukannya pembatasan volume ekspor.
Seperti diketahui, pembatasan tersebut dilakukan lewat skema alokasi ekspor atau agreed export tonnage scheme (AETS).
Selain Indonesia, dua negara lain yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) adalah Malaysia dan Thailand.
Pembatasan itu berlangsung pada 1 Maret-30 Agustus 2016 dan dilakukan demi mendorong penguatan harga setelah komoditas tersebut anjlok dari level US$4,7 per kilogram pada 2011.
AETS disebut menjadi faktor pengerek harga. “Kami melihat masih ada [ruang untuk kenaikan harga lebih besar],” tukas Moenardji.