Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan akademisi menilai skema pengendalian impor yang diterapkan pemerintah yaitu melalui sistem kuota, berpeluang melahirkan kartel. Pasalnya, dengan pembatasan seperti itu, disparitas harga komoditas di pasar global dan di dalam negeri akan semakin lebar.
Ketua Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyampaikan daripada menggunakan sistem penetapan kuota, pemerintah sebaiknya mengendalikan impor dengan penetapan bea masuk.
“Kebijakan pembatasan itu juga dikoordinasikan selama 6 bulan sekali sehingga tidak responsif terhadap keadaan [tidak efektif menekan harga di dalam negeri]. Sistem kuota itu secara implisit sama dengan pengenaan bea masuk hampir 120%. Sistem pembatasan sebaiknya diganti BM, untuk beras bisa sampai 100%,” kata Rizal di Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Rizal mengemukakan sistem kuota pun mendorong praktik usaha yang tidak transparan karena pemerintah tidak dapat langsung mengawasi di lapangan. Dengan penetapan bea masuk terhadap impor komoditas, menurutnya, pemerintah dapat melakukan pengawasan secara intensif.
Meski telah melangsungkan kesepakatan perjanjian perdagangan bebas (free trade area/FTA) dengan sejumlah negara, Rizal menyebut masih banyak negara yang menjadi asal impor produk pangan, yang berpeluang dikenakan bea masuk.
Dia mencontohkan impor jagung dari Amerika Serikat dan Argentina yang dapat dikenakan BM hingga 50% karena Indonesia belum memiliki kesepakatan FTA dengan kedua negara tersebut. Adapun, Indonesia mengimpor rata-rata 2,5 juta ton jagung setiap tahunnya dari kedua negara tersebut.