Bisnis.com, SURABAYA—Pemerintah Kota Surabaya menyambut baik semangat dasar pemerintah pusat untuk menggeliatkan investasi jangka panjang. Tapi jika cara yang ditempuh ialah menurunkan batas maksimal BPHTB, pemkot kurang setuju.
Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya Yusron Sumartono mengakui pengurangan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) bisa merangsang investasi properti. Tapi pemerintahpun jangan abai atas dampak negatif yang muncul setelahnya.
“Setiap pembangunan ada dampak negatifnya. [Properti bergeliat] jadi semakin banyak penduduk, semakin banyak kendaraan, kemacetan semakin mengancam. Ini harus diperhatikan pemerintah pusat,” ucapnya kepada Bisnis.com, Kamis (7/4/2016).
Peningkatan kepadatan penduduk dan kendaraan bagi kota seperti Surabaya bukan perkara sepele. Kota yang dianggap mandiri ini harus membiayai kebutuhannya sendiri. Alhasil terhadap kebijakan yang berpotensi mengurangi pendapatan asli daerahnya, Pemkot berpikir ulang untuk menerapkan.
Guna membangun infrastruktur perkotaan yang fungsinya mengatur ketertiban umum anggarannya diperoleh dari pajak, salah satunya BPHTB itu sendiri. Apabila persentase bea ini diturunkan dengan alasan untuk memancing investasi properti, maka setoran pajak ke kas pemda bisa berkurang.
Oleh karena itu secara umum Pemerintah Kota Surabaya cenderung keberatan dengan kebijakan penurunan BPHTB. Padahal dalam Paket Kebijakan Ekonomi XI pemerintah mengimbau pemda menurunkan tarif bea ini dari maksimal 5% menjadi maksimal 1%.
“BPHTB adalah pemerintah pajak terbesar kami kedua setelah Pajak Bumi dan Bangunan, besarannya 5%,” ucap Yusron. Sepanjang tahun ini Pemerintah Kota Surabaya membidik BPHTB senilai Rp830 miliar. Adapun total target penerimaan pajak Rp2,8 triliun.
Pemotongan tarif BPHTB akan melengkapi pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) pengalihan real estate dalam skema kontrak investasi kolektif tertentu (DIRE) dari 5% menjadi 0,5%. Insentif fiskal ini kabarnya bakal menghasilkan dana investasi jangka panjang.