Bisnis.com, JAKARTA - Saya menemui Lale Alon Sari di Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa waktu lalu.
Lale adalah salah satu ikon Lombok Tengah. Suaranya berat. Serak. Matanya tajam. Tubuhnya gempal. Dia dikenal sebagai ‘srikandi’ tenun Lombok Tengah. Dia juga kerap menyabet penghargaan, baik dari pemerintah maupun lembaga. Namanya tercatat sebagai tokoh perubahan di Lombok Tengah, setidaknya di Praya Barat.
Praya Barat pada era 1990-an dikenal sebagai salah satu daerah dengan tingkat kekerasan dalam rumah tangga cukup tinggi. Dampaknya perceraian kerap terjadi. Selain itu, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah kerap melilit wilayah tersebut. Musabab dari semua itu adalah angka kemiskinan yang tak kunjung membaik.
Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah memiliki beberapa desa pengrajin tenun dan kerajinan tangan. Desa Batujai dan Bakan termasuk pada lingkup Praya yang memiliki luas 31,12 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 57.389 jiwa.
Warga setempat sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani dan pembantu untuk dipekerjakan di negera tetangga macam Malaysia dan Thailand. Persoalan kemiskinan tersebut bertahun-tahun menjadi pemicu akar semua permasalahan.
Sebagai seorang istri pegawai desa, Lale terketuk hatinya untuk membuat sebuah perubahan.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Dia mulai blusukan dari rumah ke rumah untuk mencari tahu apa saja persoalan yang dihadapi warga sekitar. Dia melakukan semua itu bak pahlawan tanpa jasa yang rela mengeluarkan tenaga hanya untuk perubahan.
Hingga suatu hari, tercetus ide yang digagas perempuan berusia 49 tahun, beranak tiga dan cucu satu itu untuk membuat Aliansi Peduli Perempuan Kembang Komak (AP2K). Kegiatan yang dilakukan antara lain mengadvokasi dan memberikan semangat pada kalangan perempuan.
Sesekali, Lale mengampanyekan agar perempuan yang berumah tangga peduli terhadap Keluarga Berencana (KB). Sebab, bertambahnya populasi penduduk tanpa pemerataan ekonomi dia nilai akan menghambat tujuan perbaikan kesejahteraan warga.
"Yang paling penting adalah menginisiasi perempuan untuk menciptakan lapangan kerja," ujarnya.
Lale sadar betul warisan budaya yang dimiliki Lombok Tengah adalah kerajinan tenun. Maka dia mengajak perempuan setempat untuk sama-sama menjadikan tenun sebagai mata pencaharian.
Hingga, setelah dirasa para perempuan di desa itu sudah bersatu dan kompak, dia mendirikan koperasi wanita.
Hasilnya, cukup lumayan. Pada awal pembentukan koperasi pada 2011 yang berfokus untuk mengembangkan kain tenun itu, perlahan warga Praya Barat bisa terbebas dari kepompong kemiskinan.
"Sampai saat ini ada sekitar 120 anggota koperasi yang memproduksi tenun khas Lombok. Pendapatan mereka relatif meningkat. Mereka bisa membantu suami menghidupi keluarga," paparnya.
Lale bercerita bagaimana tenun menjadi penting untuk dikembangkan. Sang ‘srikandi’ merasa apa yang dilakukannya selama ini perlahan telah berhasil. Permasalahan yang dirasakan oleh warga seperti pendidikan, kesehatan dan kekerasan rumah tangga sudah bisa ditekan.
Perbaikan Ekonomi
Dia sadar permasalahan ekonomi selama ini memang menjadi penyebab, maka tak heran apabila dia berpikir solusi untuk memecahkan permasalahan di desanya adalah dengan perbaikan ekonomi itu sendiri.
Kain tenun yang diproduksi oleh Koperasi Wanita Stagen yang diketuainya membuahkan hasil cukup signifikan. Rerata produksi tenun yang dikerjakan anggota koperasi mencapai 24o per bulan. Per lembar tenun dihargai relatif murah mulai dari Rp300.000 hingga Rp1 juta.
Tapi persoalan lain muncul. Produksi tenun yang digarap Koperasi Wanita Stagen baru bisa terserap sekitar 25%. Lale cukup kelimpungan memutar otak untuk menjual produknya secara maksimal. Maka, jalan pintas yang kerap diambil adalah menjual tenun pada tengkulak.
Alih-alih menjadikan anggota koperasinya lebih kaya dan sejahtera, penjualan tenun pada tengkulak hanya melahirkan persoalan baru. Ibarat kata, anggota koperasi yang produksi, tengkulak yang kaya raya. Para tengkulak itu biasa menjual kain tenun hasil buatan koperasi Stagen ke luar negeri dan para wisatawan lokal serta asing dengan harga berlipat.
Bayangkan saja, kain tenun yang diproduksi Koperasi Stagen dijual rerata Rp300.000-Rp600.000. Tapi, di tangan tengkulak harga bisa melesat dua kali lipat hingga Rp1,5 juta. Disparitas inilah yang mencoba dicari jalan keluarnya oleh Lale Alonsari.
Saya juga menemui Nikmah, ketua koperasi Harapan Bersatu yang memproduksi kerajinan tangan dan anyaman. Lokasi koperasi ini tak jauh dari alamat koperasi Stagen. Tepatnya berada di Bakan Daya, Desa Bakan, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Persoalan yang dirasakan Nikmah adalah pasokan bahan baku yang cukup sulit didapat dan mahal. Sehingga, produksi kerajinan tangan dan anyaman yang terbuat dari bahan bambu itu kerap mendapatkan untung yang minim.
"Bahan baku yang didatangkan kebanyakan dari Surabaya dan Bali. Kami ingin ada pasokan bahan baku dari Lombok sendiri biar bisa memudahkan," ujarnya.
Permasalahan yang dirasakan kedua koperasi itu saat ini adalah strategi pemasaran. Lombok Tengah, yang sebagian daerahnya masih tergolong tradisional kurang memeroleh perhatian teknologi terutama internet. Satu dua warga memang sudah melek internet. Itu pun hanya warga yang sudah mengenyam pendidikan minimal SMP.
Dengan demikian, Kementerian Koperasi dan UKM bekerja sama dengan PT Samsung Electrics Indonesia menyasar program one village one product (OVOP) di Lombok Tengah. Targetnya ialah meningkatkan perekonomian yang dihasilkan koperasi Stagen dan Harapan Bersatu.
Peran Internet
Salah satu yang disasar untuk meningkatkan program tersebut adalah bagaimana peran internet bisa dimaksimalkan oleh para anggota kedua koperasi. Maka, pelatihan membuat website dan memaksimalkan operasional media sosial dilakukan kepada para anggota.
“Niatnya hanya ingin bagaimana produk kedua koperasi itu bisa dijual secara luas melalui internet. Para pembeli bisa berasal dari berbagai daerah hingga negera,” ujar Wakil Presiden PT Samsung Electrics Indonesia, Kang Hyun Lee.
Selain menggelar pelatihan pengelolaan website untuk penjualan produk, pihaknya juga membantu beberapa peralatan mesin operasional bagi kedua koperasi tersebut. Namun, Lee menegaskan bahwa bantuan bukan untuk memanjakan kinerja para anggota.
“Kami ingin memberi stimulus agar kedua koperasi ini ke depan bisa mandiri dan memahami bagaimana cara berproduksi dan memasarkan produk dengan baik,” ujarnya.
Asisten Deputi Urusan Industri dan Jasa, Kementerian Koperasi dan UKM Victoria Simanungkalit mengatakan tidak sedikit koperasi yang menjual produk usahanya masih melakukan transaksi secara tradisional dengan para pembeli.
"Sehingga apabila sistem transasksi masih pakai uang tunai, kemungkinan besar perbankan akan sulit memberikan akses permodalan," ujarnya.
Dia memberi contoh, koperasi Stagen dan koperasi Harapan Bersatu masih menggunakan sistem pembayaran cash and carry dalam melakukan transaksi jual beli produknya.
Menurutnya, untuk mendorong koperasi terutama di daerah agar bisa mudah mengakses perbankan, pihaknya akan memberikan bimbingan teknis kepada pelaku koperasi.
"Ini pekerjaan rumah kami. Nanti kami berikan mereka bimtek agar mereka bisa mengakses kredit usaha rakyat. Jadi nanti mereka bisa memutar cash flow," paparnya.
Dibimbing
Selama pelatihan pengembangan website dan sosial media dan bimbingan dilakukan oleh PT Samsung Electrics Indonesia dan Kementerian Koperasi dan UKM, para anggota koperasi mengaku tercerahkan dan siap memasarkan produknya melalui online.
Hal itu diyakini bakal menekan pembelian oleh para tengkulak kain tenun yang biasa menjualnya kembali dengan harga tinggi kepada pembeli pihak ketiga.
“Insya Allah, dengan adanya pelatihan ini saya perlahan sudah bisa mengoperasikan internet. Nanti bisa jualan pakai online,” papar Samsul Hadi, anggota koperasi Harapan Bersatu.
Kepala Bidang Perkoperasian Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lombok Tengah, Sahidan mengatakan, keluhan yang dirasakan oleh para anggota koperasi di wilayahnya akan ditampung untuk dicarikan solusi.
Sahidan hapal betul bagaimana para tengkulak kain tenun memainkan harga seenaknya yang berdampak pada tidak sepadannya apa yang dikerjakan oleh para anggota koperasi.
Dalam waktu dekat, kata dia, pihaknya juga akan memfasilitasi penggunaan HAKI bagi merek-merek yang diproduksi oleh koperasi yang ada di Lombok Tengah terutama yang telah memproduksi kain tenun dan kerajinan tangan secara massal.
“Kami sebisa mungkin akan menertibkan bagaimana persoalan harga yang selalu tidak sesuai dengan para produsen. Untuk masalah HAKI kami akan koordinasikan dengan provinsi, karena ada pembuatan HAKI gratis dari pemerintah,” paparnya.