Bisnis.com, DAVOS — Cuaca dingin khas kawasan Pegunungan Alpen di Davos, Swiss mungkin terasa lebih hangat bagi ratusan politisi, kepala bank sentral, dan pengusaha yang hadir dalam World Economic Forum (WEF) 2016 pada pekan lalu.
Pertemuan tingkat tinggi yang digelar dari 21-23 Januari 2016 tersebut, melihat permasalahan yang mengganggu perekonomian dunia selama ini tampak lebih kompleks.
Menumpuknya masalah di kawasan Uni Eropa kali ini menjadi pembahasan utama, di samping kondisi perekonomian China, anjloknya pasar keuangan global dan terjunnya harga komoditas.
Persoalan geopolitik dan kondisi ekonomi yang berada di luar kontrol pemerintah, dituding oleh para pejabat sebagai biang keladi. Namun, indikasi menyerahnya para pejabat terhadap kondisi terbaru ini, justru ditanggapi negatif oleh kalangan pengusaha.
Investor menilai tanggapan dan indikasi sikap sejumlah pemerintah tersebut, semakin memudarkan kepercayaan pasar kepada para pengambil kebijakan pada masa depan. Tak heran, ungkapan bernada optimistis mencoba ditiupkan oleh beberapa ekonom anggota Kongres, demi mengubur tanda-tanda keputusasaan di antara para peserta, terutama para pejabat pemerintahan.
“Ada terlalu banyak kegelisahan dan permasalahan yang bergeser menjadi lebih kompleks, sehingga memaksa arus diskusi antara satu peserta dengan peserta lain berlang-sung panas dan tak berjalan dengan baik,” kata Ton Buchner, Kepala Eksekutif dari kelompok industri Belanda AkzoNobel NV, Sabtu (23/1/2016).
Persoalan kawasan Uni Eropa, menjadi topik pembahasan dan pertanyaan terbanyak kedua di bawah tema kondisi ekonomi China sepanjang konferensi tingkat internasional ini.
Permintaan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, menjadi pembahasan krusial di samping permasalahan tekanan pasar terhadap stimulus tambahan dan pelonggaran moneter dari Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB).
Selain itu, kondisi membanjirnya imigran dan pengungsi di beberapa negara di kawasan Benua Biru dari Suriah, membuat beberapa negara anggota Uni Eropa berselisih pendapat dan sedikit terpecah di Davos.
Pasalnya, membludaknya pengungsi ini berpotensi membuat krisis baru di Uni Eropa. Negara di daerah perbatasan memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menangani kasus kemanusiaan ini.
Padahal, negara anggota Uni Eropa menganut kebijakan Visa Schengen, yang membuat para pengungsi dapat melakukan perpindahan secara bebas di negara-negara Eropa.
Lebih dari satu juta imigran masuk melalui jalur ilegal. Yunani dituduh melonggarkan perbatasan, sehingga para imigran leluasa menuju negara-negara lain. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda jumlah imigran berkurang, meski sebagian negara Uni Eropa dilanda krisis ekonomi dan musim dingin ekstrim.
Negara seperti Italia, Jerman, dan Belanda menjadi korban arus imigran ini karena lebih dari 1 juta pengungsi tinggal di beberapa negara itu. “Arus imigran meningkat pesat dan mencapai puncak nya pada 2015 dan berefek negatif bagi Eropa. Perbedaan pandangan dan penanganan imigran ini berpotensi memecah kesatuan negara Uni Eropa. Impian tentang kesinambungan di kawasan Uni Eropa pun hancur,” kata Menteri Luar Negeri Prancis Manuel Valls.
Austria menjadi negara pertama yang secara sepihak menutup perbatasan demi membendung arus pengungsi. Akibatnya kecemburuan dari negara lain di Eropa pun bermunculan dan disampaikan secara eksplisit dalam forum internasional ini.
Kondisi ini membuat Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengusulkan kebijakan Visa Schengen dibekukan untuk sementara. “Ekonomi Eropa saat ini mencapai yang terburuk sejak Perang Dunia II. Saya pikir kita perlu bekukan sementara Visa Schengen, demi membatasi dampak krisis tambahan,” kata Lagarde.
Hal tersebut didukung oleh Perdana Menteri Belanda MarkRutte dan Perdana Menteri Swedia Stefan Lofven. Mereka mengatakan, negaranya sepakat memberi waktu para pejabat Uni Eropa selama delapan pekan ke depan untuk memutuskan kebijakan terkait visa bebas tersebut.
KESENJANGAN
Persoalan dan pertanyaan lain yang mendominasi pembahasan di WEF adalah keraguan dunia pada pejabat di berbagai negara dalam menangani kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat.
Laporan terakhir dari Oxfam Internasional menunjukkan jurang antara si kaya dan si miskin di dunia semakin melebar. Oxfam menyebutkan nilai agregat kekayaan 62 taipan terkaya dunia, setara dengan kekayaan separuh populasi masyarakat dunia.
Angka tersebut naik pesat selama lima tahun terakhir dan seakan menunjukkan pemerintah di setiap negara tak berdaya menangani persoalan tersebut.
Namun, Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menampik hal tersebut. Dia berujar pemerintah Uni Eropa optimistis mampu menekan kesenjangan tersebut, meskipun di beberapa negara anggota mengalami krisis. Hal tersebut pun diamini oleh pejabat negara lainnya, yang ditindak lanjuti dengan menjanjikan sejumlah kebijakan baru.
Selain itu, tema yang menjadi primadona dan paling banyak dibahas dalam WEF adalah kondisi terbaru China. Para pemimpin sektor keuangan dunia menuntut agar pemerintah China memberikan lebih banyak kejelasan, tentang bagaimana negara tersebut mengelola yuan.
Gubernur Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) Haruhiko Kuroda, CEO Credit Suisse Tidjane Thiam dan Lagarde pun kompak menuntut agar China lebih terbuka terkait pengelolaan yuan.
Akan tetapi, tampaknya tuntutan tersebut tak cukup memberi tekanan bagi Beijing, setelah Wakil Gubernur Bank Sentral China (PBOC) Yi Gang hanya menjawabnya, dengan berjanji untuk menjaga yuan tetap pada posisi yang stabil terhadap mata uang negara lain.
Namun, dari sekian banyak topik yang dibahas dan bahkan diperdebatkan dengan sengit, tidak ada keputusan yang stategis muncul dari konferensi ini. Ung kapan skeptis pun muncul dari dosen sekaligus sejarawan yang turut menjadi peserta dalam WEF 2016 ini, yakni Niall Ferguson.
“Para pejabat pada akhirnya hanya akan pulang ke kantor masing-masing, dan membawa persoalan di Davos tanpa ada solusi yang konkrit. Semoga ada jawaban pasti dari masing-masing pejabat untuk negara mereka,” ujarnya.
Tampaknya, ungkapan Ferguson tersebut benar adanya. Pasalnya, nama Angela Merkel yang sebenarnya tak hadir di Davos tahun ini berkali-kali disebut dalam WEF.
Penyebutan tersebut bukan karena polemik ketidak-hadirannya, melainkan karena kalimat optimisme khasnya yakni "Kita bisa melakukan dan melewati ini" seakan bergema dari hampir setiap mulut peserta WEF di akhir konferensi.
Mari kita tunggu jawaban dan tindakan konkrit dari optimisme para peserta WEF 2016 tersebut dalam menangani permasalahan global sepanjang tahun ini. (Blomberg/Reuters)