Bisnis.com, JAKARTA - Lini bisnis olahan minyak kelapa sawit belum tergarap dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah beleid deregulasi dari pemerintah yang belum mendukung potensi industri ini.
Dua di antara turunan Crude Palm Oil (CPO) berupa oleofood untuk produk pangan dan oleochemical non-food untuk produk non-pangan. Industri di kedua sektor ini belum tergarap dengan baik karena dinilai belum menguasai kemampuan dalam startegi penjualan.
Hanya ada satu perubahan peraturan dalam paket deregulasi yang menyinggung kelapa sawit, yaitu Pencabutan Permenperin No. 35/2015 tentang Perubahan atas Permenperin No. 87/2013 tentang Pemberlakuan SNI minyak goreng sawit secara wajib untuk membatalkan kewajiban penjualan minyak goreng dalam kemasan dengan tujuan fortifikasi.
Revisi peraturan ini dilakukan atas dasar efisiensi industri minyak goreng karena jika diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi sebesar 15%.
"Sebelumnya, pencapaian industri hilir kelapa sawit ekspor CPO dan turunannya berupa biodiesel dan oleochemical mencapai 26,4 juta ton, naik 21% dari 21,76 ton pada 2014.
Paket deregulasi memang belum memuaskan bagi industri kelapa sawit. Walaupun begitu industri sawit tetap tumbuh," kata Joko Supriyono ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Joko menuturkan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan DPR membuat Undang-Undang Perkelapasawitan agar menciptakan iklim industri yang baik bagi pengusaha dan petani.
Joko Supriyono memprediksikan ekspor akan naik tipis sebesar 500.000 ton pada 2016. Meski tren produksi minyak sawit cenderung turun, tapi Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar harus memanfaatkan kondisi ini. Industri saat ini dirasa belum maksimal dalam menggali nilai tambah dari produk turunan CPO.