Bisnis.com, JAKARTA—Tidak taatnya perusahaan dalam mengelola lingkungan dinilai dapat mengganggu persaingan industri nasional dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) M.R. Karliansyah mengatakan bahwa dalam era persaingan ter buka, isu lingkungan bisa menjadi salah satu celah untuk kampanye negatif.
“Jangan sampai bagus dari luar [fisik gedung], tetapi masyarakat dan lingkungan di sampingnya tercemar. Hal seperti ini bisa dimanfaatkan oleh negara lain untuk kampanye buruk soal Indonesia. Gara-gara yang sedikit, kena yang semua,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (4/1/2016).
Pada November 2015, KLHK me-la lui Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) mengumumkan bahwa tingkat kepatuhan perusahaan meningkat jadi 74%.
Namun di balik itu, terdapat 529 berperingkat merah yang artinya tidak memenuhi persyaratan, serta 21 perusahaan berperingkat hitam atau sangat buruk. Adapun perusahaan yang berperingkat hitam berasal dari sektor industri manufaktur, pengolahan ikan, rumah sakit, industri agro, tambang, dan perhotelan.
Kendati khawatir di jadikan bumerang oleh negara lain, dia mengatakan bahwa peringkat hitam dan merah memang perlu diumumkan sebagai bahan pembelajaran dan perbaikan. “Kami juga ingin supaya tumbuh kesadaran melalui Proper ini. Dulu pernah pakai jalur hukum, tetapi kok tidak efektif. Ini malah lebih efektif,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa pengelolaan lingkungan menjadi bagian tak terpisahkan dari persaingan usaha. “Memang ada aspek yang menilai itu. Jadi perusahaan yang bisa bersaing ya perusahaan yang bisa memenuhi aspek itu,” katanya.
PERJANJIAN PERDAGANGAN
Dia menjelaskan ketaatan terhadap pengelolaan lingkungan akan mempermudah Indonesia jika nantinya menjalin perjanjian perdagangan antar negara. Ini disebabkan karena aspek tersebut sudah terintegrasi dalam persyaratan perjanjian perdagangan apapun di dunia.
“Jadi memang kalau kita mau ada FTA [ free trade agreement] dengan Uni Eropa, Trans Pacific Partnership, dan lainnya, itu [pengelolaan lingkungan] sudah termasuk di situ, jadi memang berkaitan,” ujarnya.
Menurut Shinta, pelaku usaha dan pemerintah perlu mewaspadai langkah-langkah yang dilakukan negara produsen berorientasi ekspor lain di Asean, seperti Vietnam. Dia mengatakan bahwa Indonesia sudah cukup tertinggal di sektor manufaktur padat karya.
Terlebih dengan bergabungnya negara tersebut dengan Trans Pacific Partnership serta adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Hal tersebut akan mempersulit Indonesia dalam bersaing di pasar ekspor.
Lebih lanjut, Karliansyah menjelaskan bahwa sistem Proper pada dasarnya telah ditiru oleh banyak negara di dunia. Tahun lalu, Thailand, India dan Ghana melakukan studi atas sistem yang bisa memacu ketaatan pengelolaan lingkungan tersebut.
Menurutnya, jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, mestinya Indonesia bisa lebih unggul dalam hal tersebut. Dia menjabarkan bahwa perusahaan yang memiliki kesadaran tinggi umumnya yang berorientasi ekspor dari sektor minyak, gas maupun pertambangan besar.
Sementara yang tidak tertib umumnya industri yang konsumsinya untuk pasar dalam negeri. “Kalau yang besar itu sudah sadar, karena kalau mereka tidak bagus, publik langsung protes. Kalau yang untuk konsumsi lokal, tidak ada tekanan ke mereka. Jadi mestinya masyarakat juga sadar, hanya pilih produk yang pengelolaan lingkungannya bagus,” katanya. (Nindya Aldila)