Bisnis.com, JAKARTA - Mengekspor bahan pangan pokok secara konsisten setiap tahun, khususnya beras, merupakan salah satu keinginan terbesar Presiden Joko Widodo.
Obsesi ini pernah disampaikan secara eksplisit oleh Presiden ketika meresmikan Pabrik Kaltim 5 di Bontang, pabrik pupuk urea dan amoniak terbesar di Asia Pasifik senilai US$576 juta, pada Novermber lalu. Tanpa ragu Presiden meyakini Indonesia akan menjadi negara pengekspor bahan pangan pokok dalam 3—4 tahun ke depan.
Lewat program ekstensifikasi dan intensifikasi lahan pertanian yang didukung penambahan kapasitas produksi pupuk, serta perbaikan kualitas bibit maupun sarana produksi pertanian, Jokowi yakin cita-cita itu bisa diwujudkan.
Dalam pandangan Joko Widodo, jika Indonesia telah mampu membalikkan posisi dari negara pengimpor pangan menjadi pengekspor, maka dengan sendirinya negeri ini telah berhasil mewujudkan swasembada dan kemandirian pangan.
“Strategi negara, selain memenuhi kebutuhan sendiri, dalam 3—4 tahun ke depan kita bisa mengekspor bahan pangan. Keyakinan ini harus didukung pasokan pupuk yang memadai,” ujar Presiden, ketika itu.
Dari sisi produksi, sejauh ini PT Pupuk Indonesia (PIHC), sebagai BUMN pupuk yang ber-tanggung jawab menghasilkan berbagai jenis pupuk di dalam negeri, menerjemahkan strategi negara tersebut antara lain lewat penambahan kapasitas produksi sekaligus meremajakan pabrik-pabrik tua yang tidak efisien.
Berdasarkan data Pupuk Indonesia, kapasitas produksi urea yang pada 2011 hanya 7,33 juta ton per tahun, pada 2015 meningkat menjadi 7,91 juta ton per tahun. Ini belum termasuk urea yang dihasilkan Pabrik Kaltim 5 sebanyak 1,2 juta ton per tahun.
Begitu pula dengan kapasitas produksi pupuk majemuk NPK yang juga terus bertambah dari 2,67 juta ton pada 2011, menjadi 2,89 juta ton pada 2015.
Peningkatan kedua jenis pupuk ini sejalan dengan strategi pemerintah dan PIHC dalam mendorong penggunaan pupuk majemuk di kalangan petani karena lebih efektif dan efisien ketimbang pupuk tunggal.
Direktur Utama PT PIHC Aas Asikin Idat menjelaskan, pening-katan kapasitas pabrik, langkah efisiensi produksi dan inovasi menjadi strategi penting perusa-haan dalam mengawal program swasembada dan kemandirian pangan nasional.
“Pada akhirnya, hal yang terpenting adalah bagaimana pupuk bisa sampai ke tangan petani pada waktu, tempat dan harga yang tepat sesuai ketentuan pemerintah,” ujarnya Aas, pekan lalu, saat memaparkan strategi penyediaan pupuk bersubsidi menghadapi musim tanam 2016 dan pengantongan terakhir pupuk 2015 di Pabrik Pupuk Kujang Cikampek, Jawa Barat.
Untuk itu, dia berharap para gubernur dan bupati/walikota dapat segera menerbitkan peraturan terkait dengan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani di wilayah kerja masing-masing. Hal ini demi menghindari terulangnya gangguan distribusi pupuk bersubsidi pada tahun lalu akibat keterlambatan penerbitan peraturan tersebut.
MUSIM TANAM
Terkait dengan kesiapan menghadapi musim tanam, saat ini PIHC telah menyiapkan stok nasional yang mencukupi kebutuhan petani berupa urea 1,2 juta ton, yang telah berada di lini I sampai lini IV.
Khusus untuk lini II dan III, yaitu gudang provinsi dan kabupaten, jumlahnya tercatat mencapai 663.000 ton urea atau hampir dua kali lipat dari stok yang ditentukan pemerintah. “Jumlah tersebut seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai tiga minggu ke depan,” jelas Aas.
Sementara itu, untuk total stok pupuk nonurea, yang terdiri dari NPK, SP36, ZA, dan pupuk orga-nik tercatat mencapai 972.000 ton yang semuanya berada di lini II dan III. Volume ini jauh di atas ketentuan stok pemerintah yang ditetapkan 378.491 ton.
“Pupuk Indonesia akan memprioritaskan pemenuhan pupuk untuk petani dalam rangka keta-hanan pangan nasional. Sebab, pada hakikatnya, industri pupuk memang didirikan untuk mengamanan pasokan di dalam negeri, dan kami juga akan berupaya mencegah terjadinya kelangkaan,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi kelangkaan pupuk di pasaran, PIHC terus meningkatkan sistem monitoring distribusi, menambah jumlah tenaga pemasaran di daerah-daerah, serta memperkuat armada transportasi baik darat maupun laut.
“Kami juga akan meningkatkan pengawasan terhadap distributor dan kios-kios untuk memastikan petani memeroleh pupuk sesuai alokasinya,” katanya.
Terkait dengan kinerja 2015, Aas mengakui bahwa 2015 merupakan tahun penuh tantangan akibat faktor-faktor yang bersifat uncontrollable, seperti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, jatuhnya harga urea di pasar dunia serta faktor El Nino yang memengaruhi penyerapan pupuk selama musim tanam.
Dia menjelaskan total penjualan pupuk bersubsidi sepanjang 2015 hingga November mencapai 7,87 juta ton dengan rincian urea 3,28 juta ton, NPK 2,24 juta ton, SP36 sebanyak 747.736 ton, ZA 881.495 ton, dan pupuk organik 716.393 ton.
Sementara itu, pupuk untuk sektor perkebunan dan industri angkanya mencapai 1,90 juta ton, sedangkan penjualan ekspor mencapai 826.291 ton.
Dalam urusan produksi, pada 2015, PIHC menghasilkan pupuk urea sebanyak 6,89 juta ton, sedangkan NPK 2,86 juta ton, ZA 642.156 ton dan SP36 sebesar 240.620 ton serta produksi amoniak tercatat 5,50 juta ton.
PIHC juga berhasil menyelesaikan sejumlah proyek besar antara lain pabrik Kaltim-5 yang menambah kapasitas produksi urea menjadi total 8,4 juta ton per tahun, dan pabrik Asam Fosfat II di Gresik serta NPK Granular II di Cikampek.
Saat ditanya mengenai prospek kinerja PIHC 2016, Aas berpendapat persaingan di industri pupuk akan semakin berat, karena harga pupuk impor terutama dari China sangat murah. Mereka diuntungkan dengan harga gas yang murah sehingga harganya jauh lebih kompetitif.
Untuk menghadapi kemungkinan serbuan pupuk impor, PIHC akan meningkatkan daya saing dengan melakukan efisiensi, meningkatkan investasi serta pengembangan produk-produk downstream dari bisnis inti yang sudah ada.
Sejumlah proyek yang kini sedang berlangsung antara lain Pusri IIB di Palembang, Amurea II di Gresik, pengembangan NPK Cluster di Bontang, serta pembangunan sejumlah infrastruktur pendukung lainnya, seperti dermaga, gudang, dan lainnya. ()