Bisnis.com, JAKARTA - Para pengusaha berbassis produksi kelapa sawit dan turunannya masih saja mengeluhkan penetapan dana pungutan kelapa sawit yang dinilai tidak diselaraskan dengan peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya yang sifatnya juga mengutip pungutan.
Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) meminta pemerintah menelaah aturan pungutan yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 133/2015 yang mewajibkan pungutan atas ekspor cangkang sawit sebesar USS10 per metrik ton.
Pasalnya, kini muncul aturan pada PMK 136/2015 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, di mana cangkang sawit dikenakan BK sebesar USS7 per metrik tonnya.
Dikki Akhmar, Ketua Apcasi, menyampaikan saat ini pungutan total USS17 tersebut melukai aktivitas ekspor cangkang sawit Indonesia yang potensi permintaannya cukup besar dari luar negeri. DI sisi lain, penyerapan untuk bioenergi di dalam negeri belum maksimal.
“Besaran pungutan tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh eksportir cangkang sawit mengingat nilai jual ekspor yang tidak dapat ditinggikan lagi. Harga ekspor per ton itu USS70, mereka (importir) tidak mau kalau kita tetapkan USS90,” jelas Dikki di Jakarta pada Jumat (4/9/2015).
Apcasi menilai PMK tersebut disusun tanpa menelaah lebih lanjut dan tidak memiliki referensi yang baik dari para pelaku usaha cangkang sawit. Selain kedua pungutan tersebut, pelaku usaha pun dikenakan PPn pada pembelian cangkang sawit di pabrik.
Data Acapsi menunjukkan setiap tahunnya cangkang sawit yang merupakan residu dari pengolahan CPO ‘terbuang’ sebanyak 7 juta ton, sedangkan yang diekspor per tahun yaitu 1,5 juta ton.