Bisnis.com, JAKARTA--Ambruknya bursa global dalam 2 pekan terakhir menunjukkan posisi sentral China di tengah perekonomian global. Sejak yuan mulai didevaluasi pada 11 Agustus 2015, lebih dari US$8 triliun terhisap dari bursa di seluruh dunia.
Langkah People Bank of China (PBOC) membuat pasar dirundung ketidakpastian dan mempertanyakan apa arti dari devaluasi yuan. Apa ini tanda perlambatan ekonomi China sudah terlalu parah? Atau ini cara China ikut bermain dalam currency war?
Apa yang ada di benak gubernur PBOC Zhou Xiaochuan atau apa yang direncanakan Xi Jinping sulit ditebak. Namun, paling tidak, ada tiga hal yang bisa dipertimbangkan sebagai sasaran kebijakan tersebut.
Pertama, adalah penjelasan paling umum dan sederhana. Devaluasi yuan bertujuan mendongkrak kinerja ekspor yang terpuruk. Yuan yang lebih lemah memperkuat daya saing barang produksi China di pasar global.
Namun, menempatkan langkah devaluasi sebagai bentuk perang dagang sepertinya terlalu berlebihan. Laju devaluasi renminbi dalam beberapa pekan terakhir masih tipis jika dibandingkan dengan depresiasi tajam won atau euro sejak awal tahun ini.
Penurunan nilai tukar yuan sejak 11 Agustus baru sedikit melebihi 5%. Alangkah tingginya harapan China jika berharap selisih itu membuat peritel di seluruh dunia berbondong-bondong mengisi gudang mereka dengan produksi China atau membuat prinsipal pemilik pabrik menambah pesanan produksi.
Penjelasan kedua terkait dengan prinsip ekonomi yang dikenal dengan impossible trinity. Konsep yang mencuat menjadi populer pasca krisis ekonomi Asia 1997 untuk menjelaskan instabilitas moneter di negara seperti Indonesia, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia.
Teorinya negara tidak bisa menjalankan kebijakan kurs tetap, aliran modal bebas, dan kebijakan moneter berdaulat. Bank sentral dan pemerintah hanya bisa memilih dua dari tiga kebijakan tersebut.
Keputusan PBOC mempertimbangkan pergerakan pasar dalam penetapan kurs yuan membuat bank sentral tersebut lebih leluasa menjalankan kebijakan moneter. Hal ini bukan berarti cadangan devisa China sudah tidak cukup.
Renminbi selama ini menjadi jangkar dari perdagangan China ketika investor global berbondong-bondong menanamkan modal mengincar pasar ekonomi terbesar kedua dunia dan tenaga kerja yang murah.
Hanya saja, keputusan China meninggalkan ketergantungan pada ekspor dan memacu kontribusi konsumsi domestik memberi beban tugas baru kepada PBOC. Ketika ekspor terpuruk, PBOC harus lebih lihai menggunakan kebijakan monter untuk menstimulasi ekonomi
Malam tadi, People Bank of China kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dan menurunkan giro wajib minimum sebesar 50 basis poin. Langkah ini seakan memberikan konfirmasi, kedaulatan kebijakan moneter kini lebih penting bagi China dibandingkan kurs tetap.
Alasan yang ketiga bersifat jauh lebih strategis. Ini terkait posisi China dalam percaturan ekonomi politik global. Devaluasi yuan merupakan langkah terkini Tiongkok untuk memantapkan posisi sebagai salah satu pondasi arsitektur finansial global.
Ambisi pemerintah Tiongkok meningkatkan modal politik melalui kekuatan ekonominya sudah bukan rahasia. Upaya mereka menjadi pusat perdagangan dunia melalui cetak biru ‘jalur sutera baru’ hingga bersaing dengan Bank Dunia melalui pendirian Asian Infrastructure Investment Bank.
Di sistem moneter, langkah China lebih halus. Mereka telah bertahun-tahun berusaha menyertakan renminbi dalam keranjang mata uang yang digunakan IMF untuk menentukan kurs special drawing right (SDR). Tujuan jangka panjangnya adalah memperkokoh kredibilitas yuan sebagai cadangan devisa, bersaing dengan dolar AS, euro, dan yen.
Sehari setelah China menerapkan penetapan yuan yang lebih fleksibel, IMF langsung menerbitkan pernyataan mendukung langkah tersebut. Badan moneter dunia tersebut tidak serta merta menyatakan kebijakan tersebut berpengaruh pada peluang yuan. Namun, IMF menyatakan nilai tukar yang lebih fleksibel akan memudahkan pengoperasian SDR, jika renminbi disertakan dalam keranjang kurs IMF.
Sepekan setelahnya, IMF merilis pernyataan lain soal keranjang SDR. Isinya adalah perpanjangan valuasi SDR yang berlaku sekarang dan menunda revisi lima tahunan komposisi keranjang SDR hingga 30 September 2016. Melalui perpanjangan waktu tersebut, review komposisi SDR terbaru masih akan berlangsung hingga akhir 2015. IMF juga menyatakan penundaan memberi tambahan waktu bagi negara pengguna SDR untuk mengantisipasi dampak penambahan mata uang baru.
Apakah penundaan tersebut terkait kebijakan moneter baru China? Belum tentu. Yang pasti, kebijakan devaluasi yuan bukan sebatas taktik dagang. Kebijakan tersebut memiliki banyak sisi. Hebatnya, dalam satu kali dayung, China melampaui dua tiga pulau. Sayangnya, satu kali dayung China memicu tsunami di seluruh dunia.