Bisnis.com,JAKARTA – Target cukai tembakau tahun 2016 mencapai Rp 148,9 triliun, seperti tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016.
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) berpendapat dibandingkan komoditas lainnya, produk hasil tembakau adalah sumber utama pungutan negara dengan porsi sebesar 96% dan menjadi satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan.
Muhaimin Moefti, Ketua Gaprindo mengatakan kenaikan target penerimaan cukai tembakau 2016 merupakan pukulan telak bagi industri tembakau nasional.
Target tersebut dinilai memberatkan karena peningkatannya mencapai 23% dibandingkan dengan target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken di September 2014, yaitu sebesar Rp 120,6 triliun.
“Kenaikan target cukai 2016 sebesar 23% ini sangat sangat eksesif, dibandingkan dengan kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 7%- 9%. Lagi-lagi, industri tembakau berada di ujung tanduk, karena target tersebut ditentukan tanpa mempertimbangkan daya beli konsumen dan dampaknya bagi lapangan kerja yang sangat besar,” ujar Moefti melalui siaran pers kepada Bisnis.com, Selasa (25/8/2015)
Pemerintah sudah melakukan revisi program target penerimaan cukai tembakau 2015 didorong naik ke angka Rp139,1 triliun pada awal 2015. Sejumlah strategi diluncurkan untuk mencapai target penerimaan pajak, khususnya cukai.
Ironisnya, hal ini diluncurkan tanpa memperhatikan kelangsungan industri tembakau nasional jangka panjang. Setelah revisi APBN-P di awal 2015, pemerintah menerbitkan PMK 20/PMK.04/2015 yang berisikan penghapusan fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui mekanisme pencepatan pembayaran.
Adanya ketetapan baru ini memang memungkinkan tambahan pendapatan selama dua bulan untuk masuk ke kas pemerintah, tetapi kebijakan tersebut kontraproduktif. Pasalnya, sambung Moefti, skema ini hanya akan menambah penerimaan dalam tahun 2015. Sedangkan pada tahun-tahun selanjutnya penerimaan negara dari cukai akan kembali seperti semula.
“Imbas dari kenaikan target cukai yang eksesif, apalagi dibarengi dengan melemahnya daya beli masyarakat,akan langsung dirasakan oleh pabrikan rokok, tenaga kerja, serta petani tembakau dan cengkeh. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ratusan perusahaan rokok gulung tikar dan telah terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan kecil maupun besar,” tandasnya.
Kenaikan cukai yang eksesif disertai dengan melemahnya daya beli masyarakat akan berimbas pada meningkatnya daya tarik rokok ilegal di pasaran. Hal ini disebabkan harga rokok illegal yang dibanderol jauh lebih murah dibandingkan dengan hasil produksi industri legal.
Berdasarkan penelitian Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014, peredaran rokok ilegal di Indonesia sudah semakin merajalela. Dalam empat tahun terakhir, rokok ilegal sudah tumbuh dua kali lipat menjadi 11,4% di tahun 2014. Dengan adanya fakta dan kemungkinan tersebut, kenaikan cukai dan imbasnya pada rokok illegal justru merugikan pihak pemerintah dan industri tembakau legal.
Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyampaikan keberadaan rokok ilegal akan diuntungkan oleh kenaikan cukai eksesif dan akhirnya mengancam keberlangsungan industri legal. Jika pemerintah tidak bijaksana dan tidak segera mengambil langkah koreksi yang tepat, maka ini merupakan kemenangan bagi rokok ilegal.
“Maraknya peredaran rokok illegal tidak hanya akan merugikan pabrikan rokok legal dan menciptakan PHK massal, tetapi juga akan menggerus penerimaan negara dari cukai rokok secara signifikan,” katanya.
Gaprindo: Kenaikan Target Cukai Hantam Industri Tembakau
Target cukai tembakau tahun 2016 mencapai Rp 148,9 triliun, seperti tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Hafiyyan
Editor : Linda Teti Silitonga
Topik
Konten Premium