Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk. meminta agar pemerintah Kabinet Kerja merevisi penerimaan target pajak pada 2015.
Kepala Ekonom BRI Anggito Abimanyu mengatakan target penerimaan pajak sepanjang tahun ini yang mencapai senilai Rp1.296 triliun terlalu tinggi.
Hingga Maret 2015, penerimaan pajak baru mencapai 13% atau Rp198,226 triliun dari target penerimaan.
Dia memprediksi penerimaan pajak tahun ini akan terjadi shortfall sebesar Rp220 triliun jika pemerintah tidak kunjung memperbaiki usaha penerimaan pajak.
"Nanti akhir tahun saya perkirakan pajak hanya mencapai 81% dari target yang ditetapkan," ujarnya di Jakarta, Senin (27/4/2015).
Anggito menyarankan pemerintah perlu merevisi target pajak telah menimbulkan kepanikan bagi para pelaku pasar
"Saya usul dilakukan revisi APBN-P tahap kedua, paling tidak target pajak hanya tumbuh 20%. Saya kira market akan lebih punya kepastian, sekaligus target penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi dirasionalkan, market akan dingin," katanya.
Target pajak yang terlalu tinggi tersebut tidak bisa diterapkan saat kondisi ekonomi Indonesia mengalami perlambatan.
"Situasi APBN tidak menguntungkan, karena target ambisius dan dilakukan saat ekonomi mengalami perlambatan. Ekspor turun tetapi impor juga turun, khususnya impor barang modal, impor barang modal turun berarti investasi juga turun," terangnya.
Menurut Anggito, target penerimaan pajak tersebut tidak rasional karena selama dirinya menjabat di Kementerian Keuangan tidak pernah dalam setahun ada kenaikan pajak di atas 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan kenaikan pajak 5% di atas pertumbuhan nominal PDB.
Selain mengusulkan revisi target pajak, Anggito juga meminta agar anggaran belanja pada dua kementerian teknis, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Perhubungan yang mendapat mandat anggaran besar untuk belanja infrastruktur, turut direvisi.
"Harus lebih cepat lebih baik, sebelum kedua kementerian tersebut melakukan lelang tender proyek. Kalau sudah menjalankan proyek, proyeknya diputus ditengah jalan akan repot," ucapnya.
Dia menceritakan pengalamannya ketika dirinya menjadi bagian dari bendahara negara yang merumuskan APBN. Dalam merevisi APBN-P, lanjutnya, Pemerintah tidak perlu meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003, peluang tersebut untuk merevisi APBNP itu bisa dilakukan setiap waktu
"Di dalam pembahasan APBNP, DPR tidak punya hak untuk mengajukan usulan. Target penerimaan pajak kan terlalu tinggi, ini saja yang direvisi, yang lain tidak usah, subsidi tidak usah," tutur Anggito.