Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Jajaki Pungutan di Komoditas Lain

Menjelang target penandatanganan sejumlah regulasi terkait pungutan pada crude palm oil (CPO) yang ditargetkan selesai pekan ini, pemerintah mengakui program ini dapat dijadikan model untuk diterapkan di komoditas-komoditas lain.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com. JAKARTA—Menjelang target penandatanganan sejumlah regulasi terkait pungutan pada crude palm oil (CPO) yang ditargetkan selesai pekan ini, pemerintah mengakui program ini dapat dijadikan model untuk diterapkan di komoditas-komoditas lain.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil menyampaikan untuk tahap awal, program supporting fund  seperti ini akan terlebih dahulu diimplementasikan pada komoditas kepala sawit, karena pergerakan harganya yang lebih stabil.

“Untuk sekarang ini kita coba dulu dengan sawit. Kalau ini berhasil, maka nanti akan dijadikan model untuk mendukung komoditas-komoditas unggulan Indonesia lainnya,” kata Sofyan selepas rakor di kantornya di Jakarta, Senin (6/4).

Sofyan mencontohkan komoditas lain yang mungkin dapat diterapkan aturan serupa adalah karet mengingat saat ini tingkat pergerakan harga komoditas tersebut cukup fluktuatif, sehingga amat membutuhkan dukungan dari kebijakan pemerintah.

Menurutnya, saat ini pungutan pada eksportir CPO tidak akan membebani para pelaku usaha. Namun jika pemerintah menetapkan pungutan pada karet, hal tersebut berpotensi menaikkan harga internasionalnya sehingga menjadi kurang kompetitif di pasar dunia.

Seperti diketahui, pemerintah sebelumnya mewacanakan eksportir CPO dikenakan CPO Supporting Fund (CFS) yaitu pungutan sebesar US$50 per ton sedangkan olein dikenakan pungutan US$ 30 per ton apabila harga berada di bawah US$750 per ton.

Dengan asumsi produksi sebesar 31-33 juta ton tahun ini, maka surplus CPO yang diekspor mencapai 22 juta ton. Surplus yang diekspor inilah yang nantinya akan dikenakan pungutan sebesar US$50 per ton. Adapun, pada penutupan perdagangan hari ini, harga CPO tercatat menguat 39 poin ke level 2230 ringgit Malaysia atau US$614.

Sofyan mengestimasi negara setidaknya dapat mengumpulkan Rp5 triliun – Rp7 triliun dari penetapan kutipan ini. Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk sejumlah keperluan seperti dukungan keberlanjutan industri perkebunan, replanting, dan pengembangan riset dan ilmu pengetahuan.

“Target penerimaannya dalam setahun itu tergantung berapa juta ton yang kita ekspor. Angkanya mungkin bisa terkumpul barang Rp5 triliun-Rp7 triliun utk men-support selisih MOPS. Jadi ini dari industri dan untuk industri,” terang Sofyan.

Adapun pemerintah menargetkan masing-masing satu PP dan Perpres terkait pungutan CFS untuk dapat segera diteken pekan ini. Sejumlah menteri dijadwalkan akan menandatangani regulasi tersebut termasuk Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri ESDM.

Senada dengan Sofyan, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir mengungkapkan tidak mustahil akan ada PP atau Kepres untuk beberapa komoditas unggulan lain seperti karet dan kopi. “Tapi yang pertama ini spesifik untuk kelapa sawit dulu,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dara Aziliya

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper