Bisnis.com, JAKARTA - Sejak penghujung 2014 harga minyak dunia menukik tajam tetapi industri perantara dan hilir rupanya tak ikut merasakan.
Pakar Ekonomi Faisal Basri mengatakan sektor perantara dan hilir petrokimia tidak merasakan dampaknya penurunan harga minyak karena rupiah terdepresiasi dolar AS.
Rerata harga minyak West Texas Intermediate dari US$59,29 per barel pada Desember tahun lalu turun ke US$47,33 per barel pada awal 2015. Harga minyak Brent susut menjadi US$13,51 per barel dari US$63,27.
Kondisi tersebut semestinya membawa pengaruh berupa penurunan harga jual petrokimia karena bahan bakunya lebih murah. Tapi hal ini tak cecap industri karena pembelian bahan baku dari dalam maupun luar negeri menggunakan dolar dan rupiah tengah melemah terhadap dolar AS.
"Padahal salah satu ujung tombak manufaktur adalah petrokimia," ucap Faisal.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan kebijakan pengembangan industri petrokimia selama ini dilakukan dengan pendekatan klaster industri. Tujuannya untuk mengintegrasikan rantai nilai industri hulu, perantara, dan hilir serta melibatkan pengguna akhir.
Terdapat tiga klaster industri petrokimia yang ada, yaitu berbasis minyak bumi di Cilegon dan Balongan; berbasis gas bumi di Bontang, Kalimantan Timur; dan berbasis minyak bumi aromatik di Tuban, Jawa Timur.
"Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk dukung industri petrokimia yang tangguh, seperti pengmanan bahan baku, harmonisasi tarif, insentif pajak dan lainya," ucap Saleh.
Menurutnya penghiliran industri penting bagi penguatan struktur industri dalam rangka peningkatan daya saing dan kemandirian industri petrokimia. Beberapa program penghiliran industri petrokimia diupayakan melalui penghiliran petrokimia berbasis migas, batu bara, dan biomassa. []