Bisnis.com, PEKANBARU--Peraturan Pemerintah no 71 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut dinilai sarat dengan campur tangan pihak asing, apalagi aturan itu dikeluarkan menjelang pemerintahan SBY berakhir.
Rusli Tan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengemukakan PP Gambut yang diteken pada detik-detik Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berkahir berbau campur tangan pihak asing melalui lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan.
"Asing selalu coba hambat sana dan hambat sini dengan berbagai isu lingkungan untuk menjadikan industri pulp dan kertas serta sawit sulit berkembang," katanya seperti dikutip kantor berita Antara, Rabu (21/1).
Dia menilai apa yang dilakukan asing itu harusnya menjadikan pemerintah Indonesia lebih waspada bukan malah ikut terpengaruh dan pada akhirnya membuat regulasi yang justru kontraproduktif dalam memajukan industri di dalam negeri.
Peraturan Pemerintah yang dikenal luas sebagai PP Gambut itu sendiri merupakan produk hukum turunan dari UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP no 71 ini berpotensi mengancam dua bisnis nonmigas utama: Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit.
Persoalan utama pada PP ini adalah penetapan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologis gambut serta masalah fungsi lindung jika ketebalan gambut mencapai 3 meter. Yang paling mematikan adalah ketentuan bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 40 centimeter (0,4 meter). Jika lebih dari itu, kawasan tersebut bakal dinyatakan rusak. Konsekuensinya? Sesuai dengan PP Gambut tadi, lahan tak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya.
Ini yang membuat pengusaha yang tergabung dalam APHI merasa disudutkan. Masalahnya adalah HTI akasia di lahan gambut bisa tumbuh lebih dari 1 meter, yang berarti dengan ketinggian muka air 40 cm akan membunuh tanaman karena akar terendam. Rusli mempertanyakan maksud pemerintah mengeluarkan PP 71/2014 tersebut.
"Kenapa tiba-tiba pemerintah bilang ekosistem Gambut diatur, namun justru membuat PP yang berpotensi mematikan usaha bubur kertas dan sawit. Yang benar adalah pemerintah mendorong bagaimana produksi meningkat, bukan malah membuat aturan yang malah menyulitkan pengusaha," tegasnya.
Dia menyatakan harusnya pemerintah mengupayakan agar capaian pertumbuhan tanaman akasia di lahan gambut di Indonesia hasil kerja keras pelaku industri yang sudah bisa panen pada umur 3-4 tahun dimuat pada jurnal internasional. Untuk di negara-negara Eropa mereka perlu waktu 30 tahun baru bisa dipanen hingga mereka sulit bersaing dengan Indonesia.
Rusli Tan merasa heran atas dasar penetapan PP 71 itu apakah sudah melibatkan para ahli dari perguruan tinggi. Sebab sebenarnya yang dibutuhkan pengusaha justru bagaimana ahli kehutanan di Indonesia mampu memproduksi bibit akasia yang bisa dipanen dalam jangka waktu 2,5 tahun.
Dari hasil kajiannya pemberlakukan PP ini akan berpotensi menghilangkan nilai ekonomi kayu Rp103 Triliun untuk satu periode ijin HTI serta devisa negara dari pulp dan kertas saja mencapai triliunan rupiah pertahun serta potensi PHK besar-besaran berupa pengurangan 300.000 tenaga kerja belum termasuk tenaga kerja tidak langsung.
"PP itu akan menjadi ancaman maut karena semua HTI Gambut akan berhenti beroperasi disebabkan muka air maksimal 40 cm mengakibatkan semua pohon akan selalu tergenang air dan mati," ujarnya dengan nada heran.
Atas dasar itu pelaku industri kehutanan dan sawit sangat berharap pemerintah bisa merevisi PP no 71/2014 itu terutama terkait dengan pasal yang memberatkan yaitu mengenai kriteria baku kerusakan berdasarkan muka air tanah di lahan gambut diatur melalui Peraturan Menteri teknis terkait disesuaikan karakteristik masing-masing komoditi tidak perlu diatur dalam PP.
Dia juga minta agar kedalaman gambut 3 meter dan penetapan 30% dari kesatuan hidrologis gambut agar ditinjau berdasarkan kajian akademis.
Wakil Ketua Kadin Riau bidang Agri-Industri Achmad Koswara mengungkapkan pemberlakuan peraturan pemerintah tentang permukaan air gambut yang hanya 40 sentimeter dapat merugikan secara ekonomis dan sosial.
Dia meminta agar pemerintah perlu secara bijaksana memberlakukan peraturan yang dapat menekan sektor dunia usaha. Karena bagaimanapun juga, pengusaha juga menerapkan nilai-nilai pelestarian lingkungan dalam menjalankan usahanya.
Misalnya, seperti di kawasan HTI perusahaan ada 15 persen yang digunakan untuk tumbuhan unggulan yang bisa dimanfaatkan masyarakat di sekitar juga untuk kawasan konservasi dengan membiarkan kayu alam dan komunitas hutan tetap ada dan tidak dijadikan HTI.
Wawan, seorang peneliti gambut tropis dari Universitas Riau menyatakan kawasan permukaan air gambut jangan dikunci, melainkan di kisaran seperti untuk budi daya tanaman kelapa sawit sekitar 0,6 meter dan hutan tanaman industri 0,8 meter.
"Saya kira, pemerintah seharusnya jangan mengatur terlalu detil (tentang gambut). Dikarenakan ada kepentingan-kepentingan lain yang harus diakomodir di atas lahan gambut," ujar peneliti gambut tropis Universitas Riau, Wawan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Riau Ediyanus Herman Halim menyatakan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau yang ditargetkan tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan nasional, sebagian besar ditopang budi daya di lahan gambut.
"Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, kita khawatir pertumbuhan ekonomi bakal terganggu," tegasnya.
Seperti diketahui, sekitar 46 persen atau 4,1 juta dari total luas daratan di Riau 8,9 juta hektare merupakan lahan gambut. Sebagian besar lahan gambut itu kini sudah dimanfaatkan untuk budi daya dan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Presiden Jokowi pada November 2014 lalu , melakukan kunjungan ke Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau untuk melihat lahan gambut yang dimanfaatkan warga tempatan menjadi budidaya tanaman sagu.