Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelaku Industri Lokal Tolak Permendag 56/2014 tentang Pasar Tradisional

Aliansi sembilan pelaku industri menolak pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 56/2014 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
  Foto ilustrasi aktivitas di pasar tradisional. / Bisnis
Foto ilustrasi aktivitas di pasar tradisional. / Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA-- Aliansi sembilan pelaku industri menolak pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 56/2014 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Ketua Umum Asosiasi Pemilik Merek Lokal Indonesia Putri Kuswisnu Wardani meminta peraturan menteri perdagangan (permendag) tersebut dikembalikan seperti semula. Permendag 56/2014 merupakan perubahan terhadap Permendag No. 70/2013.

"Selain dikembalikan bahkan perlu diadopsi ke dalam peraturan yang lebih tinggi, seperti bentuk peraturan presiden dan ditingkatkan menjadi undang-undang," katanya, di Jakarta, Senin (13/10/2014) malam.

Permendag 56/2014 dinilai malah mengerdilkan pelaku industri dalam negeri karena toko modern dan pusat perbelanjaan tidak wajib menyediakan barang dagangan buatan lokal hingga minimal 80%. Hal ini dipaparkan pada Pasal 22 beleid tersebut.

Pasal 22 ayat (2) menyatakan menteri memberikan izin penyediaan barang dagangan produksi dalam negeri kurang dari 80% kepada toko modern yang berbentuk stand alone brand dan atau toko khusus. Sementara dalam Permendag 70/2013 penyediaan barang produksi lokal kurang dari 80% dimungkinkan melalui izin menteri setelah mendapat rekomendasi dari Forum Komunikasi Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Namun forum tersebut kini bubar sejalan dengan revisi regulasi tersebut. Kini penyediaan barang produksi lokal boleh kurang dari 80% jika memang diperlukan keseragaman produksi dan bersumber dari satu kesatuan jaringan pemasaran global.

Selain itu dimungkinkan kurang dari 80% kalau memang punya merek sendiri yang sudah terkenal di dunia dan belum punya basis produksi di Indonesia. Kriteria lainnya ialah kalau barang berasal dari negara tertentu untuk memenuhi kebutuhan warga negara yang tinggal di Tanah Air.

"Revisi ini bukannya membangun justru mengerdilkan industri perdagangan. Padahal kami justru ingin dalam kurun waktu tertentu mereka mayoritas investasi produksi di Indonesia," ucap Putri.

Industri dalam negeri termasuk yang berskala kecil dan menengah berpeluang tumbuh. Pasalnya sebelum Permendag 70 diubah menjadi 56 terbuka peluang terjalinnya kemitraan antara toko modern dan pusat perbelanjaan dengan industri lokal untuk memproduksi barang dagangan yang diwajibkan minimal 80% buatan lokal.

Kemitraan tersebut dimungkinkan jika pusat perbelanjaan bersangkutan merasa belum dapat memenuhi skala keekonomian jika harus membangun fasilitas produksi di Indonesia. "Kalau pasar mereka belum cukup maka mereka bisa gandeng mitra lokal untuk memproduksi di Indonesia," ujar Putri.

Aliansi sembilan asosiasi industri juga mempersoalkan Pasal 8 yang menyebutkan toko modern hanya bisa menjual barang pendukung usaha utama paling banyak 10% dari total barang yang dijual. Tapi dalam hal tertentu menteri dapat memberikan izin penjualan barang pendukung lebih dari 10% dari keseluruhan jumlah barang yang dijual di gerai toko modern.

Asosiasi juga menentang pasal 21 ayat (2) yang melonggarkan pewajiban kepada toko modern untuk memasarkan barang mereknya sendiri paling banyak 15% dari total barang dagangan asalkan ada kemitraan. Jika terjalin kooperasi artinya bisa-bisa seluruh produk yang dijajakan adalah merek toko tersebut sendiri.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Susanto berpendapat jika Permendag 56 dikembalikan ke Permendag 70/2013 justru lebih kuat mendorong peningkatan kinerja ekspor dari industri domestik. Pasalnya kendati sudah punya merek mendunia tetap saja harus menyisakan salah satu bagian dalam proses produksi barang yang dilakukan di Indonesia.

"Misalnya Guess, kalau produksi lokal dikirim ke luar negeri kan kita mendapat devisa ekspor. Kalau Permendag 56 ini dibiarkan seolah ada intervensi asing di sini," ucap Susanto.

Pasalnya Permendag 70 pada Pasal 21 ayat (5) menyebutkan pelaku usaha pusat perbelanjaan dan toko modern dan yang dikelola sendiri yang sudah beroperasi tetapi barang dagangan produksi lokalnya kurang dari 80% sebelum beleid ini berlaku harus menyesuaikan diri dengan regulasi ini paling lambat dua tahun. Padahal beleid itu sudah melonggarkan pewajiban 80% barang dagangan buatan lokal.

Adapun asosiasi yang tergabung dalam aliansi a.l. Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonensia (GAPMMI), Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (NAMPA), dan Asosiasi Pemilik Merek Lokal Indonesia (AMIN).

Selain itu tercakup pula Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia (APGAI), Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (APROGAKOB), Gabungan Elektronika Indonesia (Gabel), terakhir Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dini Hariyanti
Editor : Setyardi Widodo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper