Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah untuk menunda pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah Perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut) yang kini tinggal menunggu persetujuan Presiden.
Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo ada beberapa ketentuan dalam RPP tersebut tidak sejalan dengan Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satunya, dia melanjutkan,pasal mengenai muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 meter dibawah permukaan gambut. Padahal, UU tidak mengatur soal kedalaman gambut.
“PP merupakan peraturan turunan dari UU. Itu berarti PP tidak boleh mengatur hal-hal yang tidak ditentukan oleh UU,” kata Firman, di Jakarta, (22/9/2014).
Dia mengatakan sebaiknya ketentuan aturan kedalaman gambut cukup diatur masing-masing pada kementerian teknis sesuai kebutuhan.
Firman mengatakan penyusunan RPP tersebut tidak transparan karena tidak melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) dan para pakar dari akademisi seperti Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI).
”Padahal cukup banyak masukan dari para pakar tentang pengelolaan gambut secara lestari dengan memanfaatkan teknologi, salah satunya water management,” tuturnya.
Firman berharap pemerintah tidak memaksakan diri menerbitkan aturan itu. Soalnya, hal tersebut akan merugikan pemerintahan baru.
“PP tersebut bakal menjadi bumerang bagi pemerintahan baru karena tidak menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat dan dunia usaha. Akan banyak perkebunan rakyat dan industri kehutanan yang tutup,” katanya.
Pakar gambut yang juga Dosen Peneliti Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB, Basuki Sumawinata mengatakan, pemanfaatan gambut di banyak negara seperti Finlandia atau Swedia telah berkembang, baik untuk keperluan budi daya maupun energi.
Namun, dia mengatakan campur tangan teknologi mutlak dalam pemanfaatan lahan gambut. Basuki menyatakan banyak riset dilakukan mengenai bagaimana mengelola gambut tanpa merusak lingkungan, tanpa melepas karbon.
“Sayangnya, desakan asing, gempuran, dan tudingan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas rusaknya kawasan gambut dan pelepasan emisi karbon itu jauh lebih kuat ketimbang tampilan hasil positif dari pengelolaan gambut untuk kegiatan kehutanan atau budidaya lainnya yang ramah lingkungan,” katanya.