Bisnis.com, BANDUNG - Indonesia kehilangan sumber pendapatan US$535 juta sepanjang 2010-2013 akibat ekspor produk perikanan Indonesia ke Jepang yang ditolak lebih dari 43 pos tarif yang meliputi tuna, salmon, lobster, sirip hiu, kepiting dan udang.
Peneliti Badan Pengkajian dan Pengambangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Rahayu Ningsih mengatakan adanya beberapa produk Indonesia yang tidak lagi diekpor selama beberapa tahun terakhir diduga karena adanya kendala non-tarif yang diberlakukan (Non Tariff Measures/NTM).
"Meski telah melakukan kerja sama perdagangan, tidak menjamin meningkatnya akses pasar produk Indonesia di negara mitra. Hal ini disebabkan masih dijumpainya beberapa kasus penolakan atas beberapa produk Indonesia di negara mitra," katanya di sela-sela Diseminasi Hasil-hasil Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan di Bandung, Rabu (4/6/2014).
Tak hanya hasil laut yang ditolak. Komoditas pertanian seperti produk kopi pun mengalami hal yang sama. Penolakan kopi di Jepang karena dianggap memiliki kandungan carbaryl yang melebihi ambang batas.
Saat ini, Jepang menerapkan maximum residues limits (MRLs) untuk kandungan carbaryl sebesar 0,01 ppm atau 10 kali lebih ketat dibandingkan yang diterapkan Uni Eropa. "Padahal kopi merupakan salah satu produk unggulan Indonesia di mana pada 2013 ekspor kopi ke dunia mencapai US$$1,17 miliar," ujarnya.
Hasil analisis dampak NTM terhadap ekspor produk utama Indonesia dengan menggunakan model gravity atas produk utama, diketahui ikan dan karet merupakan produk yang paling signifikan terkena dampak NTM dengan masing-masing koefisien -0,008 untuk produk ikan, dan -0,004 untuk karet.
Sementara itu, produk seperti minyak nabati, kayu dan produk olahan, elektronika, kakao, tekstil, alas kaki, kopi serta furnitur tidak terkena dampak NTM secara signifikan.
Berdasarkan survei di Jateng dan Bali, diperoleh informasi masih terdapat beberapa produk yang menghadapi kendala NTM antara lain produk kopi dan ikan khusus tuna. "Hambatan yang sering dihadapi adalah kandungan histamin, merkuri dan antibiotik. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui proses normalisasi air sungai," ujarnya.
Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Frank Kandou menambahkan neraca perdagangan Januari-April 2014 mengalami defisit US$0,9 miliar yang terdiri dari surplus non-migas sebesar US$3,3 miliar dan defisit migas US$4,2 miliar.
Lanskap destinasi ekspor Indonesia masih didominasi pasar utama yang realisasinya pada 2013 mencapai 73,8%, sedangkan ekspor ke negara prospektif hanya 15,3%.
Begitu juga yang terjadi selama Januari-April 2014 di mana ekspor didominasi hingga 48% ke negara Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura.
Akan tetapi, pangsa pasar andalan itu mengalami penurunan hingga 51% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada periode yang bersamaan ekspor non-migas ke negara-negara yang tergolong prospektif naik signifikan antara lain ke Afrika Selatan, Uni Emirat Arab, Meksiko, dan Pakistan.
Dari sisi produk, ekspor Indonesia juga masih didominasi produk lama yang mencapai 60,7%, sedangkan produk prospektif hanya 10,6%.
"Seharusnya kita dapat lebih memanfaatkan potensi pengembangan ekspor ke negara prospektif seperti Taiwan, Hong Kong, Turki, Myanmar dan Kamboja, Timur Tengah, Eropa Timur, serta Afrika Selatan, Mesir dan Nigeria," tuturnya.
Produk tergolong prospektif di antaranya alas kaki, perhiasan, produk plastik, udang, ikan, kopi, kakao dan olahannya, rempah-rempah dan produk kulit.
Sementara itu, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Jabar Yusuv Suhyar mengatakan, produk ikan tawar asal Jabar seringkali dikomplain karena dianggap mengandung tembaga dan raksa, termasuk juga ekspor udang yang ditolak Jepang.
"Hal-hal seperti ini harus diperhatikan meskipun nampak sepele, tapi tetap harus dipenuhi agar bisa diterima negara tujuan ekspor," tegasnya.
Menurut dia, budidaya ikan tawar asal Jabar harus mulai fokus terhadap perdagangan ke luar negeri, karena peluang ekspor ikan tawar asal Jabar terbilang besar apabila memiliki standar dan kandungan mutu yang sesuai.
"Tantangannya sejauhmana komoditas ikan yang diekspor mampu memenuhi standar negara tujuan, baik dalam pengolahan maupun kandungan mutunya. Tak jarang produk tersebut ditolak negara tujuan karena dianggap mengandung zat kimia berbahaya."